Rabu, 23 Maret 2011

Make You Feel My Love lyrics


When the rain is blowing in your face
And the whole world is on your case
I could offer you a warm embrace
To make you feel my love

When the evening shadows and the stars appear
And there is no one there to dry your tears
I could hold you for a million years
To make you feel my love

I know you haven't made your mind up yet
But I would never do you wrong
I've known it from the moment that we met
No doubt in my mind where you belong

I'd go hungry, I'd go black and blue
I'd go crawling down the avenue
No, there's nothing that I wouldn't do
To make you feel my love

The storms are raging on the rolling sea
And on the highway of regret
Though winds of change are blowing wild and free
You ain't seen nothing like me yet

I could make you happy, make your dreams come true
Nothing that I wouldn't do
Go to the ends of the earth for you
To make you feel my love

To make you feel my love

khotbah hari ibu (desember 2010)

Doa yang dijawab karena kesetiaan hidup beriman
Lazim orang berkata bahwa faktor bibit, bebet dan bobot itu penting dalam hidup keluarga. Bibit berbicara soal asal-usul atau keturunan siapa, bebet: soal lingkungan keluarga besarnya dan bobot: soal kualitas pribadi, termasuk kekayaan, pekerjaan dan iman seseorang. Kesempurnaan demikian minimal dapat menjamin kebahagiaan hidup di masa depan. Profile keluarga Zakharia (ay. 5-6) mengacu pada gambaran keluarga sempurna: keturunan baik-baik,  keluarga terpandang dan bekerja pada tempat terhormat sebagai keluarga imam. Kita dapat sepaham bahwa gambaran keluarga demikian menjadi harapan kita jika tidak terlalu mempersoalkan kekurangan kecil yang selalu ada dalam tiap rumah tangga.
Zakharia tidak hanya gembira dengan tugas keimamannya, tetapi juga konsisten dalam pelayanan yang  dipercayakan padanya sampai masa tuanya. Zakharia tidak hanya bertindak sebagai imam di bait Allah tetapi juga berfungsi sebagai imam dalam keluarganya. Terbukti Zakharia tidak menyalahgunakan jabatan pelayanan untuk mengejar kesenangan dan kekayaan pribadi (lihat perilaku keluarga imam Eli dalam 1 Samuel 2: 12-17). Zakharia bersama istrinya selalu hidup sesuai firman Allah.
Zakharia dan Elisabeth menjadi contoh suami-istri yang dapat diteladani bagi setiap pasangan suami-istri yang setia mengasihi Tuhan Yesus, tetapi juga melayani Tuhan Yesus dengan benar mulai dari rumah tangga sendiri sampai dalam persekutuan jemaat. Tidak hanya bangga dan gembira kalau suami atau istri sebagai pelayan Tuhan tetapi juga turut mendukung pelayanan secara maksimal dengan sepenuh hati.
Mengapa dikatakan dengan sepenuh hati? Bukankah banyak yang melayani tetapi dengan separuh hati, dengan hati yang bercabang, dengan hati yang penuh dengan kepalsuan. Melayani hanya untuk memperoleh jabatan, gengsi dan kehormatan dunia.  Tidak demikian dengan keluarga Zakharia. Keluarga ini saling menopang dalam pelayanan. Zakharia tidak hanya aktif dalam pelayanan di Bait Suci. Zakharia juga tekun mendoakan kebahagiaan istrinya bertahun-tahun. Apa gerangan? Sebab istrinya Elizabeth belum juga hamil  dan secara medis dikatakan mandul. (ay. 7) Jelas suatu cobaan yang berat dan tidak mudah dihadapi. Bukankah banyak pasangan rumah tangga bercerai karena soal keturunan yang belum ada, atau  menikah kembali untuk memperoleh anak demi gengsi pribadi dan keluarga besar. Sisanya ada yang pergi kepada kuasa kegelapan dengan harapan diberikan keturunan, namun hasilnya nol besar dan hanya menambah kekecewaan makin besar.
Zakharia mengasihi istrinya dan mendoakannya terus menerus bertahun-tahun sampai usia mereka lanjut.  Zakharia tidak menjadi marah  karena kehidupan rumah tangganya itu, karena istrinya selalu mendukung pelayanannya; istrinya selalu mengutamakan Allah sehingga dia menghormati suaminya dan tidak menghina suaminya (istri yang merasa sehat menghina dan menyalahkan suaminya karena tidak bisa memberi keturunan).
Zakharia dan Elizabeth pastinya hidup dengan penuh ucapan syukur. Mereka menerima segala sesuatu dalam hidup ini dengan sukacita dan  selalu berusaha hidup menyenangkan hati Tuhan. Kesetiaan dalam pelayanan berujung dengan manis; mendatangkan berkat yang tak terbilang. Zakharia diberi tugas untuk  membakar ukupan pada mezbah ukupan di Bait Suci. Ukupan artinya persembahan wangi-wangian  yang dipersembahkan kepada Allah (Kel 30:1-10, 37). Wangi-wangian itu berasal dari campuran rempah-rempah dari bahan getah damar, kulit lokan dan getah rasamala serta kemenyan (Kel. 30:34).
Tugas yang mulia itu dipercayakan Allah kepada hambaNya Zakharia lewat undian. Zakharia mendapat kesempatan istimewa dan terpilih untuk melaksanakan tugas itu. Saat itulah Zakharia menerima perlakuan istimewa dari Allah. Malaikat Tuhan diutus untuk berbicara kepadanya. Allah berkenan menjawab doa keluarga Zakharia. Apa yang selama ini didioakan bertahun-tahun dijawab Allah. Doa mereka didengar Allah dan Allah sendiri berkenan menyampaikan jawaban doa itu lewat malaikatNya.  Anak Zakharia, yaitu Yohanes Pembaptis kelak yang akan membawa banyak orang untuk bertobat dan mempercayai Yesus sebagai Juruselamat.
Firman Allah hari ini mengajak kita semua untuk selalu setia dalam hidup perkawinan, persekutuan dan pelayanan kita kepada Allah. Keluarga Zakharia mengalami dan menerima jawaban doa bukan di saat mereka dalam usia muda dan tidak dalam tempo yang cepat. Mereka berdoa tidak hanya untuk kehadiran seorang anak, tetapi juga untuk keutuhan rumah tangga dan kesetiaan dalam melayani pekerjaan Allah. Keluarga, kehidupan doa dan pelayanan adalah satu kesatuan yang saling melengkapi. Jika demikian tidak ada alasan apapun bahwa sebagai suami-istri untuk enggan dan tidak mau terlibat dalam pelayanan bagi Allah. Sudah sepatutnya sebagai keluarga Kristen, setiap suami aktif dan memberi diri dalam melayani kehendak Allah dalam keluarga dan persekutuan. Di sini memang dibutuhkan komitmen bersama dari suami-isteri untuk melayani Tuhan sehingga jangan sampai pelayanan itu mengganggu keharmonisan keluarga atau malah merusak hidup rumah tangga itu sendiri.
Kehadiran seorang istri sangat berharga dalam mendukung pelayanan suami dalam gereja Tuhan. Keberhasilan seorang suami dalam karier dan pelayanan di dalamnya terdapat sumbangsih seorang istri. Sebagai ibu rumah tangga, pasti banyak hal yang dilakukan sejak matahari terbit sampai tenggelam. Mulai dari membangunkan anak-anak, menyiapkan sarapan, membersihkan rumah, memeriksa kesehatan anggota keluarga, menyiapkan jamuan makan  sampai mengelola keuangan keluarga. Kita patut bersyukur sebagai keluarga atas pengabdian tulus seorang ibu dalam  mendukung keberhasilan anggota keluarganya. Peringatan hari ibu, mengajak kita semua untuk berdoa bagi kebahagiaan seorang ibu yang selalu menghabiskan waktu dan perhatiannya bagi kesejateraan keluarganya. Jadi sangat memprihatinkian jika seorang ibu sampai memperdagangkan anaknya sendiri dan membuangnya di tempat sampah karena alasan ekonomi.
Bersyukurlah dan bersukacita jika doa kita dijawab Allah. Untuk banyak hal, kita hidup diberkati. Doa suami-istri apapun itu pergumulannya, tidak hanya sebagai ungkapan batin atas isi hati yang tertumpah bagi Allah, tetapi juga ajakan untuk kita setia hidup bersama Allah sesuai firmanNya. Apakah saudara setia berdoa bertahun-tahun untuk satu pokok perkara doa, misalnya untuk kehadiran seorang anak dalam rumah tangga atau kesembuhan orang yang kita cintai? Apakah saat seperti itu saudara juga mau setia melayani pekerjaan Allah dalam jemaatNya? Ataukah saudara menjadi ragu, putus asa dan menganggap sia-sia aktif melayani Tuhan? Apakah saudara selalu bertemu Tuhan dalam doa dan pelayanan dan merasakan kehadiran Allah yang membawa sukacita? Jika keadaannya bertolak belakang dengan kehidupan keluarga Zakharia, mari saudaraku kita bertobat dan kembali berlaku setia di hadapan Allah.
Pertama-tama yang perlu diperhatikan, dalam keluarga kita harus saling mendoakan dalam nama Yesus, kita mau saling mengasihi dan mengampuni jika ada perkataan kotor dan sikap jahat yang telah dibuat. Kedua, beri diri saudara untuk menjadi pelaku Firman. Tidak usah kita menghakimi orang lain, sebab hanya Tuhan yang adalah hakim Sejati. Ketiga, libatkan diri saudara dalam pekerjaan pelayanan. Ada Tuhan Yesus dalam pelayanan itu. Dia bersama hambaNya. Dia mendengar dan mengetahui isi doa dan keperluan hambaNya. Dia mengasihi kita lebih dari apa yang kita minta dan bayangkan. Jangan saudara lemah, karena kemalasan rekan sepelayanan saudara. Jangan saudara justru bertambah jahat ketika berada dalam pelayanan. Saudara harus dibangun menjadi pribadi yang berkenan bagi Tuhan dan menjadi berkat bagi persekutuan. Kiranya, Minggu Advent ke-4 membuat kita menjadi  keluarga yang setia berdoa dan melayani kehendakNya sampai Tuhan Yesus datang kembali. Amin.

Senin, 21 Maret 2011

Praktek PPL VI "khotbah di Ibadah PW GPIB Anugerah Bekasi"

 (14 September 2010)
Yosua 3:14-17
·      Nas Pembacaan      :
Yosua 3: 14 yang berbunyi demikian, “ Ketika bangsa itu berangkat dari tempat perkemahan mereka untuk menyeberangi sungai Yordan, para imam pengangkat tabut perjanjian itu berjalan di depan bangsa itu”.
·      Tema Renungan      :
“KEPEMIMPINAN PARA IMAM MENGANGKAT TABUT PERJANJIAN”
·      Latar Belakang Teologis kitab dan Perikop bacaan :
Yosua adalah kisah penaklukan dan pemenuhan bagi umat Allah. Setelah bertahun-tahun perbudakan di Mesir dan 40 tahun di padang gurun, orang Israel akhirnya diizinkan untuk memasuki tanah yang dijanjikan kepada nenek moyang mereka. Yosua ditakdirkan untuk mengubah janji menjadi kenyataan. Yang menjadi pesan sentral dari kitab yosua adalah “ Kuatkan dan Teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh, bertindaklag hati-hati sesuai dengan seluruh hukum yang telah di perintahkan kepadamu oleh hambaku musa” Yos 1:7-8
Kitab Yosua merupakan kelanjutan sejarah Pentateukh. Kitab Yosua mencatat peristiwa Israel menyeberangi Sungai Yordan memasuki Kanaan setelah Musa wafat, dan juga penaklukan dan menetapnya kedua belas suku Israel di Kanaan di bawah pemimpin Yosua. Tanggal alkitabiah untuk masuknya Israel ke Kanaan adalah sekitar tahun 1405 SM. Kitab ini meliput 25-30 tahun selanjutnya dalam sejarah Israel, mengisahkan bagaimana Allah memberikan kepada Israel "negeri yang dijanjikan-Nya dengan bersumpah untuk diberikan kepada nenek moyang mereka" (Yosua 21:43). Sudah sepantasnya, kitab ini dinamakan menurut tokoh utama yang memainkan peranan utama selaku pemimpin yang ditetapkan Allah sepanjang kitab ini.
Sejarah pribadi Yosua mempersiapkannya dengan baik untuk menjadi pemimpin penaklukan. Yosua yang hidup pada akhir masa penindasan Israel di Mesir menyaksikan kesepuluh tulah hukuman, Paskah pertama, penyeberangan ajaib Laut Merah, dan tanda-tanda (dan hukuman-hukuman) adikodrati sepanjang perjalanan Israel di padang gurun. Ia menjadi panglima perang di bawah Musa dalam perang melawan suku Amalek tidak lama sesudah meninggalkan Mesir (Keluaran 17:8-16), dan hanya ia sendiri yang menyertai Musa naik ke Gunung Sinai ketika Allah memberikan Kesepuluh Hukum (Keluaran 24:12-18). Sebagai pembantu Musa, Yosua menunjukkan suatu pengabdian dan kasih yang mendalam kepada Allah dengan sering kali berada di hadapan Allah untuk jangka waktu yang lama (Keluaran 33:11); dialah orang yang sangat menghargai kehadiran Allah yang kudus. Ia pasti belajar banyak dari Musa, penasihat dan pembimbingnya yang dipercayai, tentang cara-cara Allah dan kesulitan menuntun umat itu. Di Kadesy Yosua menjadi salah seorang dari dua belas mata-mata yang mengintai negeri Kanaan. Bersama Kaleb, ia dengan gigih menolak laporan ketidakpercayaan sepuluh mata-mata yang lain (Bil 14:1-45). Bertahun-tahun sebelum menggantikan Musa sebagai pemimpin Israel, Yosua sudah menunjukkan bahwa ia seorang yang beriman, bervisi, memiliki keberanian, setia, taat dengan sungguh-sungguh, tekun berdoa, dan mengabdi kepada Allah dan firman-Nya. Pada saat ia dipilih sebagai pengganti Musa, ia merupakan orang yang "penuh Roh" (Bilangan 27:18; bd. Ulangan 34:9).
Tradisi Yahudi (Talmud) menyebutkan Yosua sebagai penulis kitab ini. Dua kali kitab ini menyebutkan bahwa Yosua menulis kitab ini (Yosua 18:9; Yosua 24:26*). Bukti dari dalam kitab ini dengan kuat menunjukkan bahwa penulisnya telah menyaksikan sendiri penaklukan Kanaan (bd. "kita" dalam Yosua 5:6; perhatikan bahwa Rahab masih hidup ketika penulis menuliskan kitab ini, Yosua 6:25). Bagian-bagian yang ditambahkan setelah Yosua wafat -- mis. Yos 15:13-17 (bd. Hakim 1:9-13); Yosua 24:29-33 -- mungkin ditulis oleh salah seorang tua-tua "yang hidup lebih lama daripada Yosua" (Yosua 24:31). Yosua wafat sekitar tahun 1375 SM ketika berusia 110 tahun (Yosua 24:29)
Kitab Yosua ditulis sebagai catatan mengenai kesetiaan Allah dalam menggenapi janji-janji perjanjian-Nya kepada Israel mengenai tanah Kanaan (Yosua 23:14; bd. Kejadian 12:6-7). Kemenangan-kemenangan penaklukan disebut sebagai tindakan penebusan Allah bagi Israel dan tindakan penghukuman atas kebudayaan Kanaan yang merosot (lihat Ulangan 9:4). Kekerasan di dalam kitab ini harus dilihat dari perspektif ini. Arkeologi menegaskan bahwa kebejatan dan kekejaman yang merajalela menjadi ciri khas dari suku-suku Kanaan yang diganti oleh Israel.
Kitab Yosua dimulai di mana kitab Ulangan berakhir. Israel masih berkemah di dataran Moab (Ulangan 34:1), di sebelah timur Yerikho dan Sungai Yordan.
Kitab ini terbagi atas tiga bagian :
(1) Bagian pertama (Yosua 1:1--5:15) menggambarkan penugasan Yosua oleh Allah sebagai pengganti Musa dan persiapan Israel untuk memasuki Kanaan (Yosua 1:1--3:13), penyeberangan Sungai Yordan (Yosua 3:14--4:24), dan kegiatan perjanjian mereka yang pertama di negeri itu (pasal 5; Yosua 5:1-12). Allah berjanji kepada Yosua, "Setiap tempat yang akan diinjak oleh telapak kakimu Ku-berikan kepada kamu" (Yosua 1:3).
(2) Bagian kedua (Yosua 6:1--13:7) menggambarkan bagaimana Israel dengan taat maju melawan kota-kota otonom yang bersenjata lengkap dan memiliki tembok yang dibentengi dengan kuat. Allah memberikan kemenangan-kemenangan menentukan kepada umat-Nya di wilayah tengah (pasal 6-8; Yosua 6:1--8:35), selatan (pasal 9-10; Yosua 9:1--10:23), dan utara (pasal 11-12; Yosua 11:1--12:24) Kanaan, sehingga Israel menguasai wilayah pegunungan (selatan ke utara) sampai ke Negev. Cara luar biasa Israel menaklukkan Yerikho dengan jelas menunjukkan kepada Israel siapa Pemimpin keselamatan mereka (pasal 6; Yosua 6:1-27). Kekalahan Israel di Ai menunjukkan kejujuran kitab ini dan ketaatan yang sungguh-sungguh yang dituntut Allah dari Israel (pasal 7; Yosua 7:1-26).
(3) Bagian ketiga (Yosua 13:8--22:34) mencatat pembagian tanah oleh Yosua kepada ke-dua belas suku, warisan Kaleb, enam kota perlindungan, dan ke-48 kota Lewi di antara suku-suku itu. Kitab ini diakhiri dengan dua amanat perpisahan Yosua (Yosua 23:1--24:28) dan pernyataan singkat tentang penguburan Yosua dan Eleazar (Yosua 24:29-33).
Kitab ini memiliki tujuh ciri khas :
(1) Kitab ini menjadi kitab sejarah PL pertama yang melukiskan sejarah Israel sebagai bangsa di Palestina.
(2) Kitab Yosua memberikan pengetahuan banyak tentang kehebatan hidup Yosua selaku pilihan Allah untuk menyelesaikan tugas Musa; tugasnya ialah menegakkan Israel sebagai umat perjanjian di tanah perjanjian.
(3) Kitab ini mencatat banyak sekali mukjizat ilahi demi Israel, dua yang paling menakjubkan ialah kejatuhan Yerikho (pasal 6; Yosua 6:1-27) dan perpanjangan waktu siang hari pada saat pertempuran di Gibeon (pasal 10; Yosua 10:1-43).
(4) Inilah kitab PL terkemuka yang menggambarkan konsep "perang suci" sebagai suatu tugas khusus dan terbatas yang ditetapkan Allah di dalam konteks sejarah keselamatan.
(5) Kitab ini menekankan tiga kebenaran akbar mengenai hubungan Allah dengan umat perjanjian-Nya:
- kesetiaan-Nya,
- kekudusan-Nya, dan
- keselamatan-Nya.
(6) Kitab ini menekankan pentingnya mempertahankan warisan tindakan-tindakan penyelamatan Allah demi umat-Nya dan pentingnya melestarikan warisan tersebut dari angkatan ke angkatan.
(7) Kisah panjang dalam kitab ini mengenai pelanggaran Akhan dan hukumannya (pasal 7; Yosua 7:1-26), bersama dengan berbagai nasihat, peringatan, dan hukuman lainnya, menekankan pentingnya takut akan Tuhan di dalam hati umat Allah.
Latar belakang Perikop :
Peristiwa Yosua mengutus pengintai ke kota Yerikho mengingatkan kita tentang cerita Musa yang mengutus Ke-12 pengintai dan peristiwa penyebrangan sungai Yordan juga mengingatkan kita tentang penyeberangan bangsa Israel di laut Teberau. Yang sama dalam ke-2 peristiwa ini ialah Allah sebagai pemimpin atau penuntun bagi mereka, dimana Allah selalu berada di tengah-tengah mereka melalui orang-orang pilihannya, dan yang berbeda ialah generasinya dimana Musa berada di generasi pertama dan Yosua berada di generasi kedua.
Allah telah berjanji kepada Yosua bahwa Ia akan memberikan tanah Kanaan kepada bangsa Israel karena itu Yosua mempersiapkan diri dengan baik. Allah meyuruh Yosua untuk mengutus para imam pengangkat tabut perjanjian. Orang-orang yang di utusnya tidak sembarangan, mereka adalah orang-orag yang hidup kudus di hadapan Allah dan selalu mengikuti semua perintah Allah.
·      Tafsir
3:14 Ketika bangsa itu berangkat dari tempat perkemahan mereka untuk menyeberangi sungai Yordan, para imam pengangkat tabut perjanjian itu berjalan di depan bangsa itu.
3:15 Segera sesudah para pengangkat tabut itu sampai ke sungai Yordan, dan para imam pengangkat tabut itu mencelupkan kakinya ke dalam air di tepi sungai itu -- sungai Yordan itu sebak sampai meluap sepanjang tepinya selama musim menuai –
3:16 maka berhentilah air itu mengalir. Air yang turun dari hulu melonjak menjadi bendungan, jauh sekali, di dekat Adam, kota yang terletak di sebelah Sartan, sedang air yang turun ke Laut Araba itu, yakni Laut Asin, terputus sama sekali. Lalu menyeberanglah bangsa itu, di tentangan Yerikho.
3:17 Tetapi para imam pengangkat tabut perjanjian TUHAN itu tetap berdiri di tanah yang kering, di tengah-tengah sungai Yordan, sedang seluruh bangsa Israel menyeberang di tanah yang kering, sampai seluruh bangsa itu selesai menyeberangi sungai Yordan.
Tafsiran Yos 3 : 14  - 17 :
Bangsa Israel berjalan menyebrangi sungai Yordan sesuai dengan yang telah dinubuatkan Tuhan. Umat israel berjalan mengikuti Imam yang membawa tabut perjanjian, ketika air berhenti bangsa Israel menyeberang. Penyebrangan sengaja disejajarkan dengan penyeberangan Laut Merah karena masuknya ke Tanah Terjanji, yang berarti Menutup tindakan agung pembebasan oleh Tuhan, yang dimulai dengan keluaran. Terlihat di sini bahwa Keluaran menjadi prisma yang digunakan untuk melihat semua perbuatan-perbuatan besar pembebasan Allah. Kembalinya dari pembuangan juga akan dilihat sebagai keluaran baru. Untuk meningkatkan makna dari perbuatan yang mengherankan dan yang besar dari Allah, dijelaskan bahwa waktu itu akhir musim dingin atau permulaan musim semi, ketika Yordan penuh karena salju mencair dari gunung-gunung sebelah utara. Sungai Yosrdan berhenti di “Adam”, sebuah kota  di pertemuan sungai Yabok dan sungaai Yordan, beberapa mil sebelah utara Yerikho. Laut Garam menunjuk pada Laut Mati dan Araba adalah gurun sebelah selatan Laut Mati. Umat menyeberang berhadapan dengan Yerikho.
Pokok Teologis         :
Ø  Ketika manusia dapat hidup dalam kekudusan dan beriman teguh pada Allah maka Ia akan selalu ada dan berjalan bersama dengan kita.
Ø  Imam adalah pemimpin yang Allah Pilih sebagai utusannya untuk menuntun umat Allah karena itu mereka selalu hidup sesuai dengan Kehendak dan perintah Allah atau dengan kata lain mereka selalu menjaga kesucian diri/kekudusan mereka
Ø  Ketaatan pada Tuhan, dimana manusia harus menjalankan apa yang sudah ditetapkan oleh Tuhan agar keselamatan darinya selalu diberikan kepada kita.

·      Kerangka Khotbah  :
Pendahuluan :
Umat Israel pada dalam perjanjian lama memiliki pemahaman bahwa imam adalah mereka yang dipilih sebagai wakil Tuhan untuk melakukan fungsi-fungsi keimamatan dimana mereka dipilih dan di utus Tuhan untuk menuntun dan memimpin bangsa Israel menuju hidup suci, benar, dan adil agar mereka layak untuk menerima anugerah besar yang telah Allah siapkan bagi mereka yaitu pembebasan dan kehidupan yang sejahtera di tanah yang telah di janjikan-Nya bagi mereka. Para imam yang dipilih sebagai pengangkat tabut perjanjian adalah mereka yang memiliki kekudusan/kesucian diri, iman, dan ketaatan kepada Allah. Tabut perjanjian itu adalah sebuah peti yang berisi 10 perintah Allah yang Ia berikan kepada Musa di Gunung sinai dan di atas tabut itu terdapat tutup pendamaian (keluaran 24 : 12 dan keluaran 25 :10 – 22 ; Ibr 9 : 4 - 5 ). Makna dari tabut perjanjian yang di angkat oleh para imam ini adalah Kehadiran Allah ditengah-tengah Umatnya Khususnya di dalam perang, oleh karena itu tabut perjanjian hanya boleh di angkat oleh imam-iman atau orang Lewi saja, Mengapa???? Karena Mereka setia dan Hidup kudus di hadapan Allah. Para imam menuntun bangsa Israel sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan yang dinyatakkan dalam firman-Nya. oleh karena itu mereka dapat menyebrangi sungai Yordan dengan selamat.
Isi : pengembangan pokok teologis dan aplikasi :
  • Sebagai manusia banyak tantangan hidup yang kita hadapi dalam menjalani kehidupan sehingga kita ragu dan bimbang dalam menjalaninya, kita gampang sekali putus asa dan hal ini membuat kita serigkali bertindak mendahului Allah. Berbagai cara kita lakukan agar dapat keluar dari masalah-masalah yang kita hadapi. Dalam rumah tangga, sebagai ibu rumah tangga tentu saja banyak hal yang menjadi tanggung jawab kita dan juga kita memiliki banyak peran, sebagai seorang ibu kita bertanggung jawab untuk melayani anak-anak kita, sebagai istri tugas kita melayani suami, tentu saja kita sebagai perempuan sudah tau tentang hal ini, walaupun di luar rumah kita adalah seorang wanita karir tetapi ketika kita sudah berada dalam RT kita maka peran itu kita mainkan kembali karena itu sesulit apapun masalah yang ada dalam RT apapun itu jangan sekali-kali kita bertindak seturut kehendak kita, tetapi yakinilah dan daokanlah semuanya, serahkan kepada Tuhan apa yang menjadi beban kita karena Ia akan meolong kita.
  • Sebagai kaum perempuan kita seringkali dianggap lemah dan tidak pantas untuk menjadi pemimpin, karena itu perlu kita ketahui bahwa setiap orang siapapun itu, laki atau perempuan, anak-anak atau dewas kita bisa menjadi pemimpin asalkan kita mau hidup dalam kekudusan Allah. seorang pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar untuk menuntun dan memimpin pasukannya(kmbali ke bacaan) karena itu seorang pemimpin harus menjaga kekudusan hidupnya agar ia dapat menjadi contoh dan panutan bagi orang lain. Sebagai ibu rumah tangga kita juga memiliki peran ini. Kita adalah manusia yang berdosa dan tentu saja kita bertanya-tanya bagaimana saya bisa menjadi pemimpin sedangkn saya manusia biasa yang tidak lepas dari dosa dan jauh dari kekudusan? Yang dimaksud kekudusan disini ialah kita harus hidup sesuai dengan kehendak Allah dan setia kepada janji-janjinya. Memang kita adalah manusia yang tidak terlepas dari dosa tetapi kita bisa menjadi kudus ketika kita mau memperbaharui hidup kita, dalam hidup ini kita diberikan 7 hari dalam 1 minggu dari 7 hari itu ada 1 hari yang dikuduskan dihari itulah kita memperbaharui kehidupan kita setelah kita melewati 6 hari sebelumnya dengan berbagai dosa yg kita lakukan.
Ketika kita mampu melakukan ini maka Tuhan akan menjadikan kita pemimpin yang baik dalam RT kita, pemimpin yang mampu dan patut dijadikan contoh oleh keluarga kita.
·      Ketaatan pada Tuhan, dimana manusia harus menjalankan apa yang sudah ditetapkan oleh Tuhan agar keselamatan darinya selalu diberikan kepada kita. Ketika kita menjadi seorang pemimpin baik itu dalam keluarga maupun di lingkungan kerja kita harus memiliki ketaatan pada ketetapan2 Allah dalam artian dimanapun kita berada kita pasti mengalami kesulitan karena itu ketika kita menghadapi suatu masalah maka kita harus mencoba untuk berpikir positif dan meminta pertolongan dari Tuhan agar Ia mau campur tangan dalam masalah yg kita hadapi agar dapat diselesaikan sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki. Sama seperti bangsa Israel yang di selamatkan dan diberi pembebasan karena taat kepada apa yang telah ditetapkan Allah.
Aplikasi : ada seorang ibu muda ia memiliki 2 anak yang masih perempuan mereka berdua sudah bersekolah, yang kk kelas 4SD dan adiknya TK, suaminya bekerja sebagai sopir mobil Jenazah dan ia sendiri membuka usaha kecil2an dirumah mereka, kebutuhan RT mereka sangat banyak, untuk makan sehari-hari, untuk biaya sekolah anak2nya saja pun penghasilan mereka belum tentu cukup, tetapi karena ketaatan dan kesetiaannya pada Tuhan, Ia selalu bersyukur untuk segala keadaan yang dihadapi keluarganya, ia tidak pernah mengeluh apalagi menyalahkan Tuhan dan berpaling dari Tuhan karena ia yakin bahwa semua yang terjadi dalam keluarganya itu sudah ditetapkan oleh Tuhan dan Tuhan akan memberikan apa yang dia butuhkan tepat pada waktunya, memang hal itu terbukti dalam keluarganya karena ia selalu menjalani dan mengikuti semua perintah Tuhan sesulit apapun kehidupan keluarganya dan sebagai IRT dengan kesetiaannya ia telah berhasil memimpin keluarganya untuk hidup sebagaimana yang dikehendaki, selalu bersyukur dengan apa yang mereka dapatkan dan tidak pernah bertindak mendahului Tuhan untuk menyelesaikan masalah dalam keluarganya.
Penutup :
Sebagai orang kristen kita harus yakin dengan kuasa Kristuslah yang sedang menuntun dan memimpin kita menuju hidup baru. Kristus tetap berkuasa menjaga umatnya lewat perjalanan hidup yang penuh dengan kesusahan dan kesulitan. Karena itu sebagai umat pilihannya kita patut taat tunduk dan mengakui Dia sebgai penyelamat kita. Sama seperti umat israel dan ibu tadi kita harus menjaga kekudusan hidup kita dengan cara Taat dan setia serta beriman kepada Tuhan agar ia mau menuntun kita pada masa depan yang lebih baik. Karena skrg ia berdiri di antara sorga dan bumi, Kristus telah menang dan ia sedang mengwasi perjalanan hidup kita sekarang sampai nanti. Karena itu sudah seharusnya kita menjadi alat bagi Dia agar melalui kita orang lain dapt mengenal Dia, dan kita juga dapat mengetahui betapa pentingnya menjadi pemimpin yang bertanggung jawab dan handal. Amin
KHOTBAH LENGKAP
Umat Israel pada dalam perjanjian lama memiliki pemahaman bahwa imam adalah mereka yang dipilih sebagai wakil Tuhan untuk melakukan fungsi-fungsi keimamatan dimana mereka dipilih dan di utus Tuhan untuk menuntun dan memimpin bangsa Israel menuju hidup suci, benar, dan adil agar mereka layak untuk menerima anugerah besar yang telah Allah siapkan bagi mereka yaitu pembebasan dan kehidupan yang sejahtera di tanah yang telah di janjikan-Nya bagi mereka.

Para imam yang dipilih sebagai pengangkat tabut perjanjian adalah mereka yang memiliki kekudusan/kesucian diri, iman, dan ketaatan kepada Allah. Tabut perjanjian itu adalah sebuah peti yang berisi 10 perintah Allah yang Ia berikan kepada Musa di Gunung sinai dan di atas tabut itu terdapat tutup pendamaian (keluaran 24 : 12 dan keluaran 25 :10 – 22 ; Ibr 9 : 4 - 5 ). Makna dari tabut perjanjian yang di angkat oleh para imam ini adalah Kehadiran Allah ditengah-tengah Umatnya Khususnya di dalam perang, oleh karena itu tabut perjanjian hanya boleh di angkat oleh imam-iman atau orang Lewi saja, Mengapa???? Karena Mereka setia dan Hidup kudus di hadapan Allah. Para imam menuntun bangsa Israel sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan yang dinyatakkan dalam firman-Nya. oleh karena itu mereka dapat menyebrangi sungai Yordan dengan selamat.
ada tiga hal yang harus kita miliki dalam menjalani kehidupan ini.


·      Keyakinan
Sebagai manusia banyak tantangan hidup yang kita hadapi dalam menjalani kehidupan sehingga kita ragu dan bimbang dalam menjalaninya, kita gampang sekali putus asa dan hal ini membuat kita serigkali bertindak mendahului Allah. Berbagai cara kita lakukan agar dapat keluar dari masalah-masalah yang kita hadapi. Dalam rumah tangga, sebagai ibu rumah tangga tentu saja banyak hal yang menjadi tanggung jawab kita dan juga kita memiliki banyak peran, sebagai seorang ibu kita bertanggung jawab untuk melayani anak-anak kita, sebagai istri tugas kita melayani suami, tentu saja kita sebagai perempuan sudah tau tentang hal ini, walaupun di luar rumah kita adalah seorang wanita karir tetapi ketika kita sudah berada dalam RT kita maka peran itu kita mainkan kembali karena itu sesulit apapun masalah yang ada dalam RT apapun itu jangan sekali-kali kita bertindak seturut kehendak kita, tetapi yakinilah dan daokanlah semuanya, serahkan kepada Tuhan apa yang menjadi beban kita karena Ia akan meolong kita.
Ibu-ibu sekalian,
·      Kekudusan
Sebagai kaum perempuan kita seringkali dianggap lemah dan tidak pantas untuk menjadi pemimpin, karena itu perlu kita ketahui bahwa setiap orang siapapun itu, laki atau perempuan, anak-anak atau dewas kita bisa menjadi pemimpin asalkan kita mau hidup dalam kekudusan Allah. seorang pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar untuk menuntun dan memimpin pasukannya(kmbali ke bacaan) karena itu seorang pemimpin harus menjaga kekudusan hidupnya agar ia dapat menjadi contoh dan panutan bagi orang lain. Sebagai ibu rumah tangga kita juga memiliki peran ini. Kita adalah manusia yang berdosa dan tentu saja kita bertanya-tanya bagaimana saya bisa menjadi pemimpin sedangkn saya manusia biasa yang tidak lepas dari dosa dan jauh dari kekudusan? Yang dimaksud kekudusan disini ialah kita harus hidup sesuai dengan kehendak Allah dan setia kepada janji-janjinya. Memang kita adalah manusia yang tidak terlepas dari dosa tetapi kita bisa menjadi kudus ketika kita mau memperbaharui hidup kita, dalam hidup ini kita diberikan 7 hari dalam 1 minggu dari 7 hari itu ada 1 hari yang dikuduskan dihari itulah kita memperbaharui kehidupan kita setelah kita melewati 6 hari sebelumnya dengan berbagai dosa yg kita lakukan.
Ketika kita mampu melakukan ini maka Tuhan akan menjadikan kita pemimpin yang baik dalam RT kita, pemimpin yang mampu dan patut dijadikan contoh oleh keluarga kita.
Ibu-ibu sekalian,
·      Ketaatan
Ketaatan pada Tuhan, dimana manusia harus menjalankan apa yang sudah ditetapkan oleh Tuhan agar keselamatan darinya selalu diberikan kepada kita. Ketika kita menjadi seorang pemimpin baik itu dalam keluarga maupun di lingkungan kerja kita harus memiliki ketaatan pada ketetapan2 Allah dalam artian dimanapun kita berada kita pasti mengalami kesulitan karena itu ketika kita menghadapi suatu masalah maka kita harus mencoba untuk berpikir positif dan meminta pertolongan dari Tuhan agar Ia mau campur tangan dalam masalah yg kita hadapi agar dapat diselesaikan sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki. Sama seperti bangsa Israel yang di selamatkan dan diberi pembebasan karena taat kepada apa yang telah ditetapkan Allah.

ada seorang ibu muda ia memiliki 2 anak yang masih perempuan mereka berdua sudah bersekolah, yang kk kelas 4SD dan adiknya TK, suaminya bekerja sebagai sopir mobil Jenazah dan ia sendiri membuka usaha kecil2an dirumah, kebutuhan RT mereka sangat banyak, untuk makan sehari-hari, untuk biaya sekolah anak2nya saja pun penghasilan mereka belum tentu cukup, tetapi karena ketaatan dan kesetiaannya pada Tuhan, Ia selalu bersyukur untuk segala keadaan yang dihadapi keluarganya, ia tidak pernah mengeluh apalagi menyalahkan Tuhan dan berpaling dari Tuhan karena ia yakin bahwa semua yang terjadi dalam keluarganya itu sudah ditetapkan oleh Tuhan dan Tuhan akan memberikan apa yang dia butuhkan tepat pada waktunya, memang hal itu terbukti dalam keluarganya karena ia selalu menjalani dan mengikuti semua perintah Tuhan sesulit apapun kehidupan keluarganya dan sebagai IRT dengan kesetiaannya ia telah berhasil memimpin keluarganya untuk hidup sebagaimana yang dikehendaki, selalu bersyukur dengan apa yang mereka dapatkan dan tidak pernah bertindak mendahului Tuhan untuk menyelesaikan masalah dalam keluarganya.

Sebagai orang kristen kita harus yakin dengan kuasa Kristuslah yang sedang menuntun danmemimpin kita menuju hidup baru. Kristus tetap berkuasa menjaga umatnya lewat perjalanan hidup yang penuh dengan kesusahan dan kesulitan. Karena itu sebagai umat pilihannya kita patut taat tunduk dan mengakui Dia sebgai penyelamat kita. Sama seperti umat israel dan ibu tadi kita harus menjaga kekudusan hidup kita dengan cara Taat dan setia serta beriman kepada Tuhan agar ia mau menuntun kita pada masa depan yang lebih baik. Karena skrg ia berdiri di antara sorga dan bumi, Kristus telah menang dan ia sedang mengwasi perjalanan hidup kita sekarang sampai nanti. Karena itu sudah seharusnya kita menjadi alat bagi Dia agar melalui kita orang lain dapt mengenal Dia, dan kita juga dapat mengetahui betapa pentingnya menjadi pemimpin yang bertanggung jwb handal. Amin



Rabu, 09 Maret 2011

Pluralisme agama

Kata pluralisme sampai saat ini masih berada dalam perdebatan sengit, apalagi ketika kata ini ditujukan kepada masalah kemajemukan agama dan keyakinan. Bagi sebagian orang Pluralisme adalah sebuah ajaran sesat yang seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan bagi kelompok yang lain sangat menekankan sikap yang pluralistis dibidang apapun, termasuk dalam bidang agama. Pluralisme agama merupakan tantangan sekaligus kebutuhan, dan secara sosiologis masalah pluralisme tidak dapat terelakkan.

Pemaknaan terhadap kata ini juga beragam. Bagi Nurcholish Madjid, misalnya, religious plurality tidak harus diartikan secara langsung sebagai pengakuan akan kebenaran semua agama dalam bentuknya yang nyata sehari-hari. Akan tetapi ajaran ini menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun kelompok.[1] Pemaknaan seperti ini nampaknya belum sampai pada konsep pluralisme penuh, tetapi baru sampai pada kategori inklusivisme. Tentu saja diakui bahwa sikap inklusivisme bagaimanapun juga masih lebih menolong dan lebih baik ketimbang sikap keberagaman yang individualistik, apalagi yang eksklusif ataupun fundamentalis.[2] Harold Coward menegaskan bahwa dalam banyak pengalaman kelahiran agama-agama baru yang muncul dalam lingkungan yang plural, bersanding dengan agama-agama lain , akan membentuk dirinya dan eksis. Ketegangan kreatif yang ditimbulkan oleh pluralisme sering menjadi katalisator bagi wawasan baru dan perkembangan agama. Jadi, tantangan ini merupakan suatu krisis sekaligus peluang untuk perkembangan rohani.[3] Agama Yahudi misalnya bertumbuh dan mendapatkan bentuk monotheisme yang murni dalam sejarah perjalanan panjangnya berinteraksi dengan agama dan kepercayaan lain, bahkan pada masa pembuangan dan setelahnya agama Yahudi semakin menemukan bentuk yang sebenarnya.[4] Kekristenan baru menjadi agama yang besar dan mengusai daerah Eropa dan sebagian Asia Kecil, ketika jauh dari Yerusalem tanah kelahiran Yesus Kristus.[5] Sedangkan Islam menemukan kebebasannya ketika Nabi Muhammad memutuskan untuk melakukan Hijrah dan melakukan aliansi dengan suku-suku lain diluar Mekkah.[6] Harold Coward menginventarisasi bahwa tantangan pluralisme kegamaan menghasilkan tiga tema dan prinsip umum:[7] Pertama, pluralisme dapat dipahami dengan paling baik dan logis, jika dapat memahami Yang Satu berwujud dalam yang banyak. Hal ini memang sesuai dan bisa dimengerti, bahwa hakikatnya Tuhan hanya satu dan sama bagi semua agama. Andaikata terpaksa menjumpai perbedaan atau berlainan, maka hidup berdampingan dengan tanpa memperbandingkan secara timbal balik, masih dimungkinkan. Dan hambatan teologis dalam berbagai dialog keagamaan relatif tidak tampak. Kedua, ada pengalaman bersama mengenai kualitas pengalaman agama partikular sebagai alat. Di sini dapat dimengerti bahwa agama sebagai alat kompetisi sehat, alat pengendali kehidupan manusia, dan alat untuk mencapai Tuhan yang sama. Hanya saja perlu diwaspadai kemungkinan munculnya faham relativisme dan liberalisme beragama. Sebab seorang yang pluralis, tetap harus berpijak pada satu agama yang diyakini dengan konsisten, namun dia harus mampu bersifat arif terhadap pemeluk agama yang lain. Ketiga, spiritualitas dikenal dan diabsahkan melalui pengenalan kriteria sendiri pada agama-agama lain. Sebab bagaimanapun, pluralisme akan selalu menuntut untuk saling membagi pemahaman partikular kita, dan ini akan memperkaya rohani serta memperkuat keyakinan terhadap agama sendiri. Adapun kondisi yang yang dikehendaki oleh konsep pluralisme agama adalah; yang pertama, apabila setiap agama, demikian juga komunitas umatnya, dapat memberi tempat kepada agama lain, tidak hanya dalam perasaan toleransi sebagai warga negara kelas kedua. Yang kedua, apabila setiap agama dapat membedakan antara keyakinan dan konsekwensi moral mereka, dan yang ketiga, apabila ada konsensus yang pasti dapat dicapai oleh masyarakat yang berbeda-beda keyakinan, untuk saling menghormati tatanan moral yang penting bagi pribadi dan sikap sosial mereka.[8] Tiga kondisi tersebut sebenarnya dapat diwujudkan oleh kalangan umat beragama, selama antar mereka tercipta saling pengertian yang mendalam walaupun tetap hidup dalam agama yang berbeda-beda. Pertanyaannya sekarang adalah “Bagaimana cara yang harus ditempuh oleh umat beragama sehingga dapat mengembangkan sikap yang positif, arif, dan konstruktif semacam itu?” Tobroni dan Syamsul Arifin mengusulkan, untuk mengembangkan pluralisme menjadi kekuatan sinergis dalam kehidupan masyarakat di masa depan, maka agama-agama dalam konteks ini dijadikan landasan etis.[9] Sedangkan Th. Sumartana mengusulkan diintensifkannya dialog antara umat beragama dalam berbagai bentuk, yaitu dialog hidup, dialog aksi, dialog teologis, dan dialog pengalaman keagamaan[10] (dua dari model dialog tersebut merupakan pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini). Kegiatan dialog tersebut setidaknya akan menyentuh dua hal pokok, yakni menghidupkan kesadaran baru dalam memahami secara otentik mengenai iman orang lain, tanpa bersikap meremehkan apalagi mendistorsikan, dan mewujudkan kerjasama untuk memecahkan persoalan kemanusiaan yang nyata di masyarakat. Hal itu akan menjadi kekuatan dalam menanggulangi ekskalasi persoalan yang formatnya bersifat lintas agama.[11] Setelah itu berbagai langkah dan upaya perlu dipertimbangkan guna mengantisipasi merebaknya hambatan dan halangan serta bahaya (seperti klaim kebenaran dari masing-masing agama, konflik dan reduksionisme), antara lain: perlunya diadakan pembenahan pemahaman secara mendasar menyangkut tataran filosofis dan etis, atas sikap keberagaman umat beragama terhadap agama mereka sendiri dan agama orang lain, perlu diadakan diskusi dalam berbagai level di dalam satu agama tertentu. Hal tersebut dilakukan dengan maksud untuk menghindari salah pengertian dan sekaligus meningkatkan marturity (kedewasaan), dari umat beragama tersebut. Selain itu, dialog antara umat beragama perlu digalakkan di berbagai level.[12]

[1] Onghokham, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sejarah, dalam Th. Sumartana, dkk., (eds), Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian Interfidei, 1993), hlm. 170.
[2] MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama), Bincang Tentang Agama di Udara, Yogyakarta: LKiS, 2005, hlm. 56.
[3] Harold Coward, Pluralisme Tantangan bagi Agama-agama, terj. Bosco Carvallo, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 167-168.
[4] Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, Bandung: Mizan.20054 hlm. 87-94. [5] Ibid., hlm. 155-160. bnd. Th. van den End, Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm 16-19.
[6] Ibid, hlm. 215-223. bnd. Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis, Surabaya: Risalah Gusti, 2006, hlm. 193-202.
[7] Harold Coward, op. cit., hlm. 168-169
[8] Fatimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002, hlm 67-68.
[9] Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam, Pluralisme Budaya dan Politik, Yogyakarta: Sipress, 1994, hlm. 34.
[10] Th. Sumartana, dkk, Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta: Dian Interfidei, 1993, hlm. xvi.
[11] Ibid, hlm. xxiii-xxiv.
[12] Fatimah Usman, op. cit., hlm. 69.

yesaya 35:1-2

YESUS MENGUBAH PADANG GURUN MENJADI TAMAN BUNGA
Yesaya 35 : 1-2
Latar Belakang
                Kitab Yesaya ditulis oleh Nabi Yesaya sendiri pada tahun 700-680 SM. Yesaya rupanya berasal dari keluarga kalangan atas di Yerusalem; dia orang berpendidikan, memiliki bakat sebagai penggubah syair dan berkarunia nabi, mengenal keluarga raja, dan memberikan nasihat secara nubuat kepada para raja mengenai politik luar negeri Yehuda. Biasanya, Yesaya dipandang sebagai nabi yang paling memahami kesusastraan dan paling berpengaruh dari semua nabi yang menulis kitab. Latar belakang sejarah bagi pelayanan nubuat Yesaya, anak Amos adalah Yerusalem pada masa pemerintahan empat raja Yehuda: Uzia, Yotam, Ahas, dan Hizkia (Yes 1:1). Raja Uzia wafat pada tahun 740 SM (bd. 1.Sam 6:1) dan Hizkia pada tahun 687 SM; jadi, pelayanan Yesaya meliputi lebih daripada setengah abad sejarah Yehuda. Menurut tradisi Yahudi, Yesaya mati syahid dengan digergaji menjadi dua (bd. Ibr 11:37) oleh Raja Manasye putra Hizkia yang jahat dan penggantinya (+ 680 SM).
Kitab Yesaya adalah salah satu kitab terbesar dalam kanon Alkitab, bersama-sama dengan  kitab Mazmur dan kitab Yeremia. kitab Yesaya dibagi menjadi 3 bagian :
1.    Proto Yesaya ( pasal 1 – 39 )
2.    Deutero- Yesaya ( pasal 40 – 55 )
3.    Trito-Yesaya ( pasal 56 -66 )
Tiga hal yang utama dari tulisan nabi Yesaya ialah :
·      Sang nabi akan menghadapi bangsanya sendiri dan bangsa lain yang ada pada waktu firman Tuhan mengenai dosa dan hukuman Allah turun atas mereka.
·      Melalui penglihatan yang mengandung wahyu dan Roh nubuat, Yesaya menubuatkan pengharapan bagi angkatan masa depan orang Yahudi buangan. Mereka akan di kembalikan dari pembuangan dan akan ditebus oleh Allah untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi.
·      Yesaya bernubuat bahwa Allah mengirim Mesias dari keturunan Daud, yang keselamatan-Nya pada akhirnya akan meliputi semua bangsa di bumi ini, sehingga memberikan pengharapan bagi umat Allah di bawah perjanjian yang lama dan yang baru.
Penjelasan Ayat:
Ayat  1 – 2, kedua ayat ini menggambarkan suatu arak-arakan kemenangan. Ke-dua ayat ini berisikan tentang pengharapan bagi mereka yang memerlukan pembebasan. Bermekarannya Tumbuhan di padang gurun ini menggambarkan perubahan batin yang terjadi pada jiwa yang telah ditebus. Dari gersang, tidak berbuah dan mati secara rohani, muncul bunga yang cantik dari iman yang baru bersemi serta keagungan yang lebih matang dari pohon aras Libanon(pohon yang kokoh dan kuat). Sampai tingkat tertentu orang-orang yang ditebus ini mencerminkan kemuliaan Sang Juruselamat yang telah datang untuk menebus mereka. Jadi meskipun mereka menderita dengan hukuman yang Allah turunkan atas mereka tetapi, tetap ada keselamatan yang Ia berikan kepada mereka jika mereka mau menyerahkan diri kepada-Nya.
Aplikasi :
Kesengsaraan dan permasalahan kehidupan seringkali membuat kita putus asa dan terkadang kita melupakan Tuhan dan terkadang membuat kita menyalahkan Tuhan, padahal kita sendiri tidak mau menyadari bahwa apa yang kita hadapi itu adalah akibat dari perbuatan kita sendiri. Karena itu  hendaklah kita yakin dan percaya bahwa kehidupan ini adalah milik-Nya dan Ia tahu mana yang terbaik untuk kita dan kita mau untuk menyerahkan hidup kita pada-Nya. sehingga pada akhirnya padang gurun yang kita lewati dalam kehidupan kita dirubahnya menjadi taman bunga yang indah, dan kita siap untuk menerima kehadiran-Nya yang ke-Dua kalinya dalam hidup kita. Amin

apa itu teologi

Pendasaran Epistemologis dan Metodologis
Oleh. Elifas Maspaitella
A. Asumsi Awal
Memahami teologi tidak mesti dimulai dari sebuah definisi yang baku atau standar mengenai “apa teologi” itu? Atau teologi ialah...? Apalagi kalau definisi teologi itu kemudian diuraikan secara etimologis. Orang akan dengan sederhananya mengatakan, teologi terdiri dari kata berbahasa Yunani, yaitu
 theos, yang artinya Tuhan, dan logos, yang artinya perkataan, ucapan, firman, pengetahuan, dll. Dengan demikian teologi berarti pengetahuan tentang Tuhan.

Hal itu tidak salah, tetapi terlampau menyederhanakan teologi sebagai sebuah ilmu. Penyederhanaan itu telah menyebabkan kesalahan laten, di mana teologi diperangkapkan dalam suatu lingkungan abstrak dan transenden. Kiblatnya diarahkan ke realitas Tuhan yang transenden, bukan meresponi Tuhan yang historis dan imanen. Bahkan seluruh aktifitas manusia pun akhirnya mengarah ke transendensi itu. Keberakaran teologi dalam konteks kehidupan manusia semakin menjadi lemah, sehingga aksentuasi kehidupannya merupakan semacam “credit point” untuk masuk surga.

Tanpa disadari, pemahaman teologi seperti itu telah membentuk perilaku kristiani yang sangat normatif. Apapun yang dilakukan harus berdasarkan pada “hukum-hukum Tuhan” sebagaimana tertuang di dalam Alkitab. Sehingga perilaku Kristisani sangat biblisentris. Tentu tidak salah juga, jika dimaknakkan sebagai pola beragama masyarakat, atau kekhasan suatu kelompok agama. Namun fatalnya, ialah kecenderungan itu telah memunculkan sistem identifikasi diri yang patronis. Orang Kristen, di berbagai tempat – termasuk di Indonesia atau Maluku/ Ambon – telah mengidentifikasi dirinya sebagai Israel “baru”. Sebagai Israel “baru” itu, seluruh fantasi kehidupan dan keagamaannya diarahkan sama dengan Israel di Palestina dalam seluruh sejarah kehidupannya. Dari situ tampak bahwa teologi – yang selama ini di anut – gagal melahirkan sebuah pengenalan dan identifikasi diri yang kontekstual. Teologi gagal membangun mentalitas bergama yang kontekstual, sebagai produk lingkungan di mana ia hadir. Mentalitas beragama yang di anut justru sebuah reduplikasi atau foto copy yang suram terhadap konteks beragama dan dari mana agama itu datang/lahir, atau tempat asal peziarah/penginjil. Dalam kenyataan seperti itu, tidak mengherankan jika sampai saat ini orang Kristen lebih suka diidentikan dengan Israel dan lingkungan Palestinanya (bnd. Ideologi tanah Kanaan), atau orang Islam dengan identitas Arabnya.

B. Perspektif Berteologi
Teologi dengan aspek-aspek seperti yang diuraikan -dalam konsep keilmuannya- dapat disebut sebagai teologia naturalis, yaitu refleksi filsafat tentang dasar dan tujuan terakhir dari “mengada” kita. Dalam kerangka itu, John B. Cobb - sebagai usaha menjelaskan kerangka filsafat naturalisnya Alfred Whitehead – menjelaskan bahwa teologi dalam arti itu ialah pernyataan-pernyataan yang koheren tentang hal-hal yang utama yang diakui sebagai sebuah perspektif yang diterima dari suatu komunitas iman.

Contohnya, seorang Kristen akan dengan jelas berbicara tentang Yesus Kristus dan makna keberadaan kemanusiaannya, mengakui bahwa persepsinya mengenai peristiwa-peristiwa Kristus (Christ event) merupakan hal yang penting bagi gereja Kristen. Dengan demikian, setiap pembicaraan (Gereja) yang memiliki referensi terhadap Kristus (atau ke Alkitab) itu disebut teologi, sebaliknya jika tidak memiliki refereni ke peristiwa Kristus, tidak dapat disebut teologi. Atau jika tidak memiliki akses ke dalam komunitas gereja, juga tidak dapat disebut teologi.
Hal yang sama berlaku, bahwa semua formulasi teologi harus konkruen dengan rumusan pengakuan gereja, tradisi gereja, Alkitab, dan rumusan-rumusan pendapat bapa gereja yang berabad-abad yang lampau. Hal-hal itu telah dipahami sebagai acuan untuk berteologia, atau bahkan sumber dari teologi itu sendiri.

Cobb, mengkritik corak definisi teologi seperti itu. Baginya sebuah acuan definitif bukan menunjuk pada apa yang salah dan benar, melainkan pada apa yang berguna dan tidak perlu digunakan. Sehingga dari definisi teologi naturalis tadi, Cobb mengatakan ada empat hal yang perlu diluruskan, pertama, ada perbedaan antara teologi dan sebuah usaha mempelajari agama secara obyektif. Tetapi ada orang yang hendak menghapus perbedaan ini dan mengidentifikasi teologi dan semua studi agama. Perhatian di sini diberikan pada pengertian mengenai Tuhan, manusia, sejarah, alam, kebudayaan, moral dan takdir. Kepercayaan itu membuat mereka menyebutnya sebagai kepercayaan agama, tetapi untuk banyak hal mereka tidak percaya mengenai agama.

Kedua, definisinya mengenai teologi tidak dapat dibedakan oleh unsur-unsur dasar dari pemikiran yang lain. Walau demikian perbedaan itu tidak dapat dihindari, khususnya pemaknaan mendalam mengenai eksistensi kemanusiaan. Jika dikaitkan dengan kerangka teologi prosesnya, pada sisi inilah Cobb hendak menekankan pentingnya aktivitas manusia dalam apa yang disebutnya
 actual occasion atauoccasion of experience. Manusia bertindak setiap hari, dan mewujudkan semua cita-citanya (subject aim) melalui berbagai aktifitas (creative aim). Dalam aktifitas itu dia tidak digerakkan oleh Tuhan laksana robot, melainkan Tuhan mengontrol dan mengantarnya mencapai tujuan utama yang disebutnya sebagai the initial aim.

Ketiga, definisi teologi Cobb tidak memiliki refernesi mengenai Tuhan. Tentang hal itu dijelaskannya bahwa “teologi” sebagai doktrin tentang Tuhan tetap eksis sebagai cabangan dari filsafat dalam artinya itu. Namun teologi di sini merupakan sebuah usaha berproses dengan usaha-usaha untuk mengartikulasikan iman Kristen, dari pada usaha menjelaskan tentang Tuhan. Teologi terwujud dalam pekerjaan dan aktifitas keseharian manusia, siapa pun dia. Teologi seperti itu tidak ada dalam konstatasi yang suci atau sakral. Dimensi hisup manusia tidak harus diklarifikasi antara yang suci atau sakral. Jika teologi bersikukuh dalam lingkungan itu, ia menjadikan dirinya sebagai sebuah “pope work” (kerja para imam), dan bukan “what people deeds” (apa yang dilakukan manusia –berteologi/in doing theology).

Keempat, teologi itu adalah apa yang dilakukan oleh jemaat secara murni/asli. Tentunya berupa refleksi teologi sebagai anggota jemaat/masyarakat mulai dari kelompok masyarakat perdana yang kemudian memandu munculnya pandangan-pandangan atau pengalaman agama yang baru. Dalam kaitan itu teologi adalah usaha berkelanjutan, dan tidak terputus di satu titik tertentu apalagi harus stagnan dan tidak berkembang. Teologi tidak memiliki label tunggal, tetapi akan terus berkembang dan berubah menuju formula dan bentuk pengetahuan serta pengalaman yang baru atau unik.

Kerangka pikiran tersebut merupakan gambaran mengenai duduk perkara teologi dalam khazanah ilmiah. Bahwa dalam kerangka itu berbagai trend teologi bermunculan. Mulai dari teologi konvensional, tradisional, kemudian berkembang ke arah teologi kontekstual dalam berbagai perspektif seperti teologi liberal (Amerika Latin), minjung (Korea), da-lit/orang miskin (India), teologi leluhur (Australia), teologi kerbau (Thailand), dan ragam formulasi teologi lainnya.

Muncullah trend teologi-teologi itu memperlihatkan, bahwa berteologi adalah sebuah usaha berkelanjutan (continuity), tetapi sekaligus juga keterputusan (discontinuity). Berkelanjutan sebab teologi harus bergumul dalam iman yang sudah ada dan bertitik tolak dalam iman itu. Dari situ iman itu dinyatakan. Dia adalah suatu kegiatan yang terlibat (participate). Akan tetapi juga keterputusan, karena melalui teologi itu iman harus dirumuskan dalam suatu pandangan (thought). Dengan demikian dalam teologi ada dimensi partisipasi, refleksi dan ekspresi.
Sisi partisipasi refleksi mengandaikan teologi dalam pengertian praktis, menyangkut pemberlakuannya di dalam kehidupan nyata. Bahasan yang sering digunakan adalah “berteologi/in doing theology”. Pada sisi itu teologi merupakan keterlibatan langsung manusia di dalam lingkungan sosialnya. Sedangkan sisi ekspresi menempatkan teologi dalam kerangka ilmu yang memiliki standar-standar akademis yang jelas. Ia adalah disiplin ilmu yang diajarkan setiap orang, memiliki perspektif dan paradigma tertentu, dan selalu terbuka pada perkembangan dunia ilmu itu sendiri.

Dari situ tergambar, bahwa teologi tidak dapat dibatasi hanya pada dimensi keagamaan. Teologi yang dibatasi pada dimensi keagamaan akan terjebak dalam moralisme yang naif. Ia akan cenderung verbalis, atau juga biblisentris. Kemungkinannya untuk terbuka pada realitas keseharian manusia cukup sempit, karena telah ada norma dasar yang mau tidak mau harus diikuti oleh setiap orang. Dalam batasan itu, seluruh perilaku umat dituntut agar harus sesuai dengan kitab suci.

Pada tataran beragama, corak berteologi seperti itu hanya akan melahirkan pola pemikiran dan tindakan yang fundamentalis, fanatisme dan verbalisme. Akhirnya kelompok yang menganut cara berteologi itu cenderung ekslusif, tidak terbuka bagi orang atau pikiran lain yang berbeda darinya.

Sebagai sebuah ilmu, teologi itu terbuka bagi kritik, pembaruan, perkembangan secara epistemologi dan metodologis. Teologi merupakan pergumulan kembar antara teks dengan konteks, sebuah dialektika transformatif di dalam seluruh dimensi keberadaannya. Ia terbuka dan selalu mengarah ke konteksnya. Ia ditemukan dan berkembang melalui kemampuan refleksi manusia di dalam dan terhadap konteks keseharian (daily activity). Oleh sebab itu ia ada dalam sejarah, berkembang bersama sejarah itu, mengalami sejarah, dan menentukan sebuah sejarah. Teologi merupakan sebuah peristiwa historis. Historitasnya ditandai oleh kepekaan dan kesediaannya terhadap dan untuk selalu berubah.

Prinsip perubahan dalam sejarah tidak lalu mengkonstitusikan sebuah teologi itu relativ (relativism), melainkan kontekstual transformatif. Kontekstual, karena teologi merupakan cara Gereja menjawab tantangan konteksnya. Ia merupakan perintah (imperative), bukan pilihan (option) bagi Gereja dalam rangka melakukan dialog dengan perubahan yang ada.

Transformatif, sebab pembaruan yang benar-benar baru hanya bisa dicapai dengan kesadaran untuk melepaskan “yang lama” dalam kesadaran untuk menuju pada apa yang ideal. Ia dapat terjadi dengan jalan melakukan dekonstruksi terhadap berbagai unsur yang lama. Bukan karena “yang lama” itu tidak penting atau salah, melainkan harus ada sinergitas antara formulasi beriman dengan perkembangan kemasyarakatan. Semua itu harus terjadi karena teologi tidak memiliki inventarisasi data yang baku/ konstan. Data teologi ada dalam pergumulan tetap dengan sejarah. Bahkan berubah seturut alur perubahan sejarah itu. Oleh sebab itu, transformasi penting dijadikan perspektif menuju sebuah teologi baru. Transformasi itu berjalan linear, dan selalu bergerak dalam perubahan. Ia berkembang maju – ke depan – walau tidak terlepas dari pergumulan awal – menuju pada tujuan utama (initial aim) yang dicita-citakan.

Kontekstual transformatif, merupakan jawaban atas seluruh kebutuhan perubahan melalui pembenahan pemahaman, visi, isi, bentuk, strategi dan struktur berteologi. Semua itu berlangsung dalam dialog dengan konteks.

Dari situ sebetulnya teologi kontekstual merupakan jawaban. Namun kontekstualisasi itu sendiri harus merupakan usaha progresif dengan selalu terbuka pada data baru, bukan rumusan iman yang telah ada semata yang lalu dilihat sisi kontekstualnya.

Seperti contoh, ada kesan bahwa teologi kontekstual itu apabiloa kita melakukan kajian terhadap unsur-unsur kebudayaan baik secara dogmatis, liturgis, etis, dan berbagai pendekatan lain. Sehingga sering ditemui karya teologi yang membawa unsur-unsur budaya (sperti perkawinan, konsep-konsep budaya mengenai Tuhan (Upu Lanite/ Tete Manis, dll), atau sistem adat lainnya. Dari data-data itu lalu dibuatlah sebuah relevansi kontekstual, dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “apakah sistem perkawinan adat itu masih relevan denganb konteks kini?” atau apakah konsep kepercayaan kepada Upu Lanite atau Tete Manis itu tidak bertentangan dengan iman Kristen mengenai Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus sebagaimana adanya kini? Pada sisi itu sebetulnya karya teologi kontekstualnya tetap konvensional.

Ada kecenderungan bahwa data teologi kontekstual adalah “warisan” budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Sehingga tidak jarang terdengar bahwa “tidak ada lagi data untuk kajian teologi kontekstual”, karena “semuanya sudah dikaji”. Anggapan ini cenderung mengartikan data teologi kontekstual sebagai “pengalaman masa lampau”. Padahal data teologi kontekstual itu juga meliputi berbagai fenomena sosial masyarakat yang aktual, mengenai perubahan tata sosial masyarakat pergeseran paradigma ekonomi, pertentangan dan perubahan tata politik negara, kecenderungan psikologis dan perubahan paradigma berpikir suatu masyarakat. Teologi adalah juga apa yang dilakukan masyarakat setiap hari dalam seluruh realitas kerjanya.

C. Kesan Metodologis dalam Pendekatan Teologi
Bagian ini akan memaparkan sisi metodologis dalam teologi atau berteologi. Agar tidak kebablasan coba diuraikan dalam pola pendekatan dalam teologi, perspektif-perspektif dalam teologi, metode-metode dalam teologi. Semua itu akan bermuara pada usaha menyusun sebuah panduan metodologi penelitian bidang teologi. Sebagai panduan, kerangka metodologi yang tersaji nanti merupakan tools untuk mengerjakan penelitian bidang teologi.

1. Pendekatan dalam Teologi
Norman K. Gottwald, dalam salah satu bukunya, “The Politics of Ancient Israel”, (2001) menyebut ada dua corak pendekatan, yang dinamakannya dengan hukum dua penyebab (dual causality principle). Dua penyebab itu adalah divine system (pendekatan yang mengarah pada dimensi ke-Tuhanan) dan human system (pendekatan kemanusiaan).

Divine System
Sketsa 1:




https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIOnmBb2jKciYaOLzWh2waTtlVkaHaEi9ZWPx6ubo7oSL4z5tAIb1PoyxejFb6vFim3i8eQ1sQHX-H1lMjmJQ3G8eu4pbrB0Ki6nwEYEu7fDLt_gZCroAAh-1K_lJO0aEzuAEZ2b2RUJc/s320/divine+system+ok.jpg

Sketsa ini menggambarkan dunia dalam bentuk lingkaran atau gerak dunia adalah sebuah gerak siklis, dari satu titik, ke titik yang lain, dan kembali lagi ke titik semula. Nampak bahwa Tuhanh berada di atas semua elemen kemanusiaan. Otoritas Tuhan berada di atas semua elemen kemanusiaan, dan bisa juga otoritas organisasi (Gereja). Sementara masyarakat (umat beragama) berada pada lintang horisontal dan berhadapan lingkungan dan mengarah ke Tuhannya. Dalam kedudukan itu, masyarakat menanggapi konteksnya serta bertindak sesuai dengan amanat otoritas di atasnya (Tuhan). Ia mengemban tugas pemberitaan atau penerjemahan Injil kepada penerimanya. Tugas itu dilaksanakan dengan memanfaatkan semua media yang tersedia, terutama bahasa setempat, media budaya (mis. Upacara dan simbol-simbol adat), agama, sosial, media massa (elektronik dan cetak), dll. Ketika menerima amanat, muncul sikap, perilaku, watak masyarakat terhadap dunia, serta corak pemahaman mengenai Tuhan.

Human system
Sketsa 2:

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYpEPNy5xyTBcby9wQBnlGVMpcNdwdzMF4kSFH8aplWkqz-bLEw7V0UOYH6RsZCPlq1WREaXq99vKCMVqAft2Oc-aGp8haI9FzvRhcn8DRtlFrysyBIJyaP0vrOi2EXWN9flisp0qYtqg/s320/human+system.jpg


Berbeda dengan sketsa 1, di sini dunia diibaratkan sebagai sebuah lintang linear yang bergerak ke depan. Masyarakat menempati lingkup utama dunia. Masyarakat berada dalam sebuah konstruksi plural, terdiri dari berbagai latar belakang agama, ras, budaya, bahasa, politik, profesi, dll. Dalam konteks kemajemukan itu, teologi ada dan mengalami dinamika yang sama dengan dinamika masyarakat. Teologi merupakan citra kontekstual yang historis dan berkembang dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu mesti dimengerti dalam kerangka imanensi, yaitu kehadiran secara eksistensial dalam kehidupan masyarakat manusia. Dalam arti itu, teologi juga dimiliki secara bersama oleh masyarakat yang berbeda-beda, dengan cara berbahasa yang sesuai dengan konteks masing-masing.

Teologi tidak mengacu dari “amanat”, melainkan karena kesadaran dan pengalaman kesehariannya, ia merumuskan visi, strategi, bentuk dan cara-cara yang tepat dalam berteologi. Dalam usaha itu, teologi berhadapan dengan tantangan konteks, berupa perubahan sosial yang bergerak dari waktu ke waktu. Akibatnya terbentuklah corak pemahaman masyarakat mengenai lingkungan, sesama dan Tuhan. Teologi pada awalnya adalah refleksi manusia mengenai diri, sesama dan lingkungannya. Refleksi itu yang kemudian menentukan pemahamannya mengenai otorita di atasnya, yaitu otorita dan realitas Tuhan.

Gambaran Gottwald, tersebut menjelaskan kepada kita bahwa kedua corak berpikir itu terus mewarnai teologi kita. Tanpa sadar kita terlalu jatuh berat pada satu (terutama
 divine system), sehingga teologi kita cenderung spiritualis; hilang konsentrasi sosialnya.


2. Beberapa Perspektif dalam Teologi
Perspektif tua dalam teologi kita adalah perspektif naturalis, yaitu refleksi filsafat tentang dasar dan tujuan kahir dari “mengada kita”. Ia berkisar antara tema-tema penciptaan, pemeliharaan, pemulihan dan penebusan, atau dengan gamblang membentang sejarah penyelamatan (heilsgeschichte).

Sambil mengembangkan kerangka filsafat proses Whitehead, Cobb mengartikan teologi naturalis itu sebagai kisaran diskursus seputar pernyataan-pernyataan seperti pengakuan iman, kitab suci, dan rumusan-rumusan lainnya seperti diucapkan oleh para teolog di masa lampau. Cobb tidak menyangkali pentingnya corak itu. Bahkan baginya semua pandangan itu perlu bukan untuk menentukian mana yang salah dan benar, tetapi mana yang berguna dan dapat digunakan. Kesan lebih bahwa hal-hal itu kiranya dijadikan sebagai perspektif dalam berteologi. Sebab memutlakkan unsur-unsur itu sebagai dasar teologi adalah salah kaprah. Hal-hal itu merupakan bagian dari studi agama. Teologi mesti dibedakkan dari studi agama; sebab tujuan studi agama supaya orang memahami doktrin-doktrin agama itu, ia merupakan salah satu saja unsur dalam teologi menurut agama tertentu.

Mengingat terbatasnya perspektif naturalis itu, kemudian berkembang perspektif-perspektif baru dalam berteologi. Orang lalu mengembangkan seperti perspektif fenomenologis, dan kemudian fenomenologi sejarah dalam teologi. Usaha-usaha Mircea Eliade, Evans-Pritchard, dll ke dalam perspektif ini sebetulnya merupakan usaha mengembangkan studi antropologi dan sosiologi agama. Mereka kemudian tiba pada sebuah fakta kemanusiaan dan kemasyarakatan yang memerlukan pendasaran sejarah budaya sebagai tools untuk melihat sebetulnya sejarah kepercayaan masyarakat.

Mengenai hal itu para pendahulu mereka seperti Freud, James Fowler, atau juga Piaget dan Kohlberg, telah mengedepankan perspektif Psikologis dalam rangka memahami dimensi kepercayaan manusia itu.

Perspektif sosiologis kemudian mewarnai dunia teologi dan/ atau agama-agama. Perspektif ini cenderung melihat sisi sosial kehidupan masyarakat sebagai “locus theology” yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan terutama berkembang dalam lingkungan agama-agama, termasuk dijadikan semacam tools dalam rangka menafsir kitab suci.

Dalam perkembangannya, perspektif teologi itu muncul seiring dengan perkembangan kontemporer masyarakat. Di sini dapat dilihat seperti teologi developmentisme, teologi feminim, atau gender, atau teologi dunia ketiga, dll. Perspektif-perspektif itu memperlihatkan bahwa perubahan dalam berteologi signifikan dengan perubahan metodologi itu sendiri. Dengan demikian apa pun argumentasinya, metodologi dalam teologi memainkan peran kunci dalam rangka mengembangkan dan membarui teologi itu sendiri.

3. Metode-metode dalam Teologi
Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa teologi merupakan sebuah fenomena fenomenologis. Ia dipahami, dicari, dikembangkan, dirumuskan, diberlakukan, diuji, dirumuskan ulang, dst. Refleksi teologi adalah refleksi berproses dengan lingkungan, refleksi di dalam sejarah yang selalu berkembang. Hardiyanto, menjelaskan bahwa dari apa yang dipikirkan, dipahami, dst itu terlihat bahwa yang terjadi itu dikerjakan secara sistematis, dengan metode-metode yang disempurnakan, dan dalam suatu dialog yang meliputi seluruh dunia beriman.dari sana nyata bahwa kita sudah melakukan teologi sejak kita mulai berpikir mengenai iman, meskipun dalam bentuk yang spontan, sedikit banyak kebetulan, tidak secara sistematis dan ilmiah. Dengan demikian teologi mengintegrasikan iman kita ke dalam kehidupan kita sebagai subyek yang berkepribadian, yang berpikir dengan bebas. Jadi (a) kalau kita ingin ikut-serta dalam fenomen sosial yang disebut teologi Kristen, kita diarahkan kembali secara refleksif ke iman, dan dengan demikian ke kenyataan eksistensial kita yang paling dalam; (b) kalau kita ingin memenuhi keperluan eksistensial yang termuat dalam iman, kita merealisasikan iman sebagai pribadi yang bebas dan berpikir, maka kita mengembangkan hal atau kegiatan teologi.

Pada tataran itu penting diketahui metode-metode dalam teologi. Ini penting dalam rangka menjaga jarak kritis antara teologi dengan lingkungannya, serta membuat peta yang jelas tentang sisi teologi dan sisi agama. Kunci menggunakan metode dalam teologi adalah (a) untuk menghayati dialektika teks dan konteks, atau wahyu dan isi wahyu; (b) sebagai jembatan penghubung antara subyek yang berteologi dengan obyek teologi itu; (c) untuk mengasimilasikan wahyu dalam rangka memahami peristiwa (the fact) dan makna (the meaning) dari peristiwa tertentu.
Dengan demikian ada tiga metode dalam teologi, yaitu:

1. Metode historis; yang akan menentukan fakta; dan oleh karena fakta diketahui melalui dokumen-dokumen: metode akan menentukan keotentikan dan bentuk asli (kritik teks) dari dokumen-dokumen tersebut.

2. Metode hermeneutis; pertama-tama akan menentukan arti dari dokumen-dokumen itu (eksegesis teks), lantas mencari arti yang paling dalam baik dari kesaksian dokumen-dokumen maupun dari peristiwa-peristiwa sendiri.

3. Metode antropologis; yang diperlukan untuk mencapai pengertian tentang subyek manusiawi dan dunianya; dalam bidang ini semua bidang ilmu manusia, yang berpusatkan pada filsafat manusia yang utuh, menyumbangkan hasilnya pada teologi.
Ketiga metode itu tidak dapat dilepaspisahkan, melainkan mesti digunakan secara mutual, dalam arti saling mengisi. Walau demikian, setiap metode mesti dikerjakan sesuai dengan kaidah metode masing-masing.

Teologi menggunakan metode historis, hermeneutis dan antropologis dari ilmu-ilmu lain, dan dalam cara menggunakannya juga tidak berbeda dengan ilmu-ilmu yang lain itu. Teologi menentukan suatu fakta historis, keotentikan atau bentuk asli atau arti dari suatu dokumen, struktur dari suatu kegiatan atau institusi manusiawi, tepat seperti ilmu-ilmu lain itu bekerja. Yang paling-paling dapat dikatakan khusus dalam teologi ialah bahwa penggunaan dan perjalanan langkah demi langkah dari metode-metode itu ditentukan oleh intensi iman, dan diarahkan ke kesatuan yang ditentukan oleh iman. Dengan perkataan lain, terhadap metode-metode, iman berlaku sebagai asas pembentuk, yang menyatukan dan menghidupkan.

Dengan demikian teologi merupakan usaha refleksif, metodis dan sistematis, yang akan mengasimilasikan dan mengekeplisitasikan wahyu ilahi secara manusiawi; usaha refleksif, metodis dan sistematis yang akan menerima wahyu ilahi dengan pengertian (fides in statu scientiae). Teologi memakai metode historis, hermeneutis dan antropologis, menurut hukum-hukum dari metode tersebut dalam ilmu-ilmu lainnya. Semua metode tersebut lantas dipersatukan dan diarahkan oleh intensi teologi, yaitu pemahaman iman.

Kepustakaan

Bevans, Stephen B.,
 Models of Contextual Theology, New York, Maryknoll: Orbis Books, 1992
Dhavamony Mariasusai,
 Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
John B. Cobb, Jr, and David Ray Griffin.
 Process Theology: an Introductory Exposition, Philadelphia: The Westminster Press, 1976
-------,
 A Christian Natural Theology Based on the Thought of Alfred North Whitehead, dalam From Whietehead to the Process Theology, Compose and adapted by Elifas Tomix Maspaitella, Salatiga, 2002, h. 168. Taken from www.religion-online.org
Gottwald Norman K., The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction, (Philadelphia: Fortress Press, 1987
------,
 The Politics of Ancient Israel, Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2001
Hardiyanto Anjar S.,
 Pengantar ke Teologi Lambaran: Obyek ~ Persoalan Dasar ~ Metode, Salatiga: Fakultas Teologi dan PpsAM Universitas Kristen Satya Wacana, 1998
Maspaitella Elifas T.,
 Persepuluhan: Tafsir Sosiologi Terhadap Rumusan Hukum Sosio-Ekonomi dalam Perjanjian Lama, Paper Rapat Teknis Ketua-Ketua Klasis GPM, Juli, 2002
-------, Materi Diskusi Reguler FST GMKI Kom. Teologi dan Semah Fak. Teologi UKIM, 16 November 2002. Materi ini diangkat dari tulisan saya Penelitian Bidang Teologi, 200
Supratiknya A. (eds),
 Teori Perkembangan Kepercayaan: karya-karya Penting James W. Fowler, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Titaley John,
 Menuju Teologi Agama-agama yang Kontekstual, Pidato Ilmiah dalam rangka Pengukuhan Guru Besar Bidang Teologi di UKSW, Salatiga, 2001

Catatan Kaki:
Materi Diskusi Reguler FST GMKI Kom. Teologi dan Semah Fak. Teologi UKIM, 16 November 2002. Materi ini diangkat dari tulisan saya Penelitian Bidang Teologi, 2002
Identifikasi diri itu semakin memperkuat ekslusifisme. Pada sisi pemhaman dogmatik, ada kelompok yang melihat kerusuhan sebagai realitas pararel dengan konteks pembuangan Israel di Mesir atau Babel. Sehingga umat diminta bertahan, sebab ada waktu penggenapan janji pembebasan dari Tuhan. Riskannya lagi jika ada teolog yang mengatakan justru kerusuhan ini adalah bagian dari wahyu Tuhan.
Anjar S. Hardiyanto, Pengantar ke Teologi Lambaran: Obyek ~ Persoalan Dasar ~ Metode, Salatiga: Fakultas Teologi dan PpsAM Universitas Kristen Satya Wacana, 1998, h. 14
John B. Cobb, Jr, adalah penganut Teologi Proses, suatu aliran Teologi yang mencoba menguraikan dasar-dasar pemahaman mengenai hubungan Tuhan dan Manusia dalam aktifitas kemanusiaan (actual occasion), menuju pada tujuan utama kehidupan (initial aim). Beberapa seri karangannya mengenai teologi proses a.l. Process Theology: an Introductory Exposition, Philadelphia: The Westminster Press, 1976 (bersama David Ray Griffin), dan Process Theology as Political Theology, Philadelphia: The Westminster Press and Manchester University Press, 1980.
Bnd. John B. Cobb, A Christian Natural Theology Based on the Thought of Alfred North Whitehead, dalam From Whietehead to the Process Theology, Compose and adapted by Elifas Tomix Maspaitella, Salatiga, 2002, h. 168. Taken from www.religion-online.org.
Ibid, h. 168-171
John B. Cobb and David Ray Griffin, Process Theology: an Introductory Expisition, Philadelphia: The Westminster Press, 1976, h. 15 dyb
Bnd. John Titaley, Menuju Teologi Agama-agama yang Kontekstual, Pidato Ilmiah dalam rangka Pengukuhan Guru Besar Bidang Teologi di UKSW, Salatiga, 2001, h. 4
Bnd. Stephen B. Bevans, Models of Contextual Theology, New York, Maryknoll: Orbis Books, 1992.
Norman K. Gottwald, The Politics of Ancient Israel, Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2001, h. 252, 319, 320.
Oleh sebab itu, kemudian gambaran dan definisi mengenai Tuhan itu berbeda-beda pada setiap agama. Bahkan secara kontekstual di Maluku, identifikasi nama diri Tuhan pun berbeda untuk setiap kelompok masyarakat. Dapat dicatat konsep Upu/ Upler, atau definisi Tuhan dalam istilah “Tete Manis” untuk masyarakat Maluku Tengah secara umum. Namun bagi komunitas berbudaya di Ameth (Nusalaut), definisi Tuhannya ialah “El-Meseh”. Ini merupakan cara kontekstual mereka mengerti dan memahami Tuhan.
Anjar S Hardiyanto, op. cit, h. 14
John B. Cobb, A Christian Natural Theology Based on the Thought of Alfred North Whitehead, dalam From Whitehead to the Process Theology, Compose and adapted by Elifas Tomix Maspaitella, Salatiga 2002, h. 168. Taken from www.religion-online.org.
baca juga, Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
baca juga, A. Supratiknya (eds), Teori Perkembangan Kepercayaan: karya-karya Penting James W. Fowler, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Di sini sumbangan Gottwald dengan “Sociological Exsegetics” penting dilihat sebagai bagian dari pentingnya ilmu sosial dalam teologi dan/ atau menafsir Alkitab. Untuk itu beberapa referensi patut dirujuk a.l. Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction, (Philadelphia: Fortress Press, 1987), by. Norman K. Gottwald, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1983; Elifas T. Maspaitella, Persepuluhan: Tafsir Sosiologi Terhadap Rumusan Hukum Sosio-Ekonomi dalam Perjanjian Lama, Paper Rapat Teknis Ketua-Ketua Klasis GPM, Juli, 2002.
Hardiyanto, op.cit, h. 15,16
ibid, h. 24
Ibid, h. 24, 25
Ibid, h. 26, 27
posted by elifas maspaitella at 8:13 pm http://www.blogger.com/img/icon18_email.gif
labels: teologi