Rabu, 09 Maret 2011

apa itu teologi

Pendasaran Epistemologis dan Metodologis
Oleh. Elifas Maspaitella
A. Asumsi Awal
Memahami teologi tidak mesti dimulai dari sebuah definisi yang baku atau standar mengenai “apa teologi” itu? Atau teologi ialah...? Apalagi kalau definisi teologi itu kemudian diuraikan secara etimologis. Orang akan dengan sederhananya mengatakan, teologi terdiri dari kata berbahasa Yunani, yaitu
 theos, yang artinya Tuhan, dan logos, yang artinya perkataan, ucapan, firman, pengetahuan, dll. Dengan demikian teologi berarti pengetahuan tentang Tuhan.

Hal itu tidak salah, tetapi terlampau menyederhanakan teologi sebagai sebuah ilmu. Penyederhanaan itu telah menyebabkan kesalahan laten, di mana teologi diperangkapkan dalam suatu lingkungan abstrak dan transenden. Kiblatnya diarahkan ke realitas Tuhan yang transenden, bukan meresponi Tuhan yang historis dan imanen. Bahkan seluruh aktifitas manusia pun akhirnya mengarah ke transendensi itu. Keberakaran teologi dalam konteks kehidupan manusia semakin menjadi lemah, sehingga aksentuasi kehidupannya merupakan semacam “credit point” untuk masuk surga.

Tanpa disadari, pemahaman teologi seperti itu telah membentuk perilaku kristiani yang sangat normatif. Apapun yang dilakukan harus berdasarkan pada “hukum-hukum Tuhan” sebagaimana tertuang di dalam Alkitab. Sehingga perilaku Kristisani sangat biblisentris. Tentu tidak salah juga, jika dimaknakkan sebagai pola beragama masyarakat, atau kekhasan suatu kelompok agama. Namun fatalnya, ialah kecenderungan itu telah memunculkan sistem identifikasi diri yang patronis. Orang Kristen, di berbagai tempat – termasuk di Indonesia atau Maluku/ Ambon – telah mengidentifikasi dirinya sebagai Israel “baru”. Sebagai Israel “baru” itu, seluruh fantasi kehidupan dan keagamaannya diarahkan sama dengan Israel di Palestina dalam seluruh sejarah kehidupannya. Dari situ tampak bahwa teologi – yang selama ini di anut – gagal melahirkan sebuah pengenalan dan identifikasi diri yang kontekstual. Teologi gagal membangun mentalitas bergama yang kontekstual, sebagai produk lingkungan di mana ia hadir. Mentalitas beragama yang di anut justru sebuah reduplikasi atau foto copy yang suram terhadap konteks beragama dan dari mana agama itu datang/lahir, atau tempat asal peziarah/penginjil. Dalam kenyataan seperti itu, tidak mengherankan jika sampai saat ini orang Kristen lebih suka diidentikan dengan Israel dan lingkungan Palestinanya (bnd. Ideologi tanah Kanaan), atau orang Islam dengan identitas Arabnya.

B. Perspektif Berteologi
Teologi dengan aspek-aspek seperti yang diuraikan -dalam konsep keilmuannya- dapat disebut sebagai teologia naturalis, yaitu refleksi filsafat tentang dasar dan tujuan terakhir dari “mengada” kita. Dalam kerangka itu, John B. Cobb - sebagai usaha menjelaskan kerangka filsafat naturalisnya Alfred Whitehead – menjelaskan bahwa teologi dalam arti itu ialah pernyataan-pernyataan yang koheren tentang hal-hal yang utama yang diakui sebagai sebuah perspektif yang diterima dari suatu komunitas iman.

Contohnya, seorang Kristen akan dengan jelas berbicara tentang Yesus Kristus dan makna keberadaan kemanusiaannya, mengakui bahwa persepsinya mengenai peristiwa-peristiwa Kristus (Christ event) merupakan hal yang penting bagi gereja Kristen. Dengan demikian, setiap pembicaraan (Gereja) yang memiliki referensi terhadap Kristus (atau ke Alkitab) itu disebut teologi, sebaliknya jika tidak memiliki refereni ke peristiwa Kristus, tidak dapat disebut teologi. Atau jika tidak memiliki akses ke dalam komunitas gereja, juga tidak dapat disebut teologi.
Hal yang sama berlaku, bahwa semua formulasi teologi harus konkruen dengan rumusan pengakuan gereja, tradisi gereja, Alkitab, dan rumusan-rumusan pendapat bapa gereja yang berabad-abad yang lampau. Hal-hal itu telah dipahami sebagai acuan untuk berteologia, atau bahkan sumber dari teologi itu sendiri.

Cobb, mengkritik corak definisi teologi seperti itu. Baginya sebuah acuan definitif bukan menunjuk pada apa yang salah dan benar, melainkan pada apa yang berguna dan tidak perlu digunakan. Sehingga dari definisi teologi naturalis tadi, Cobb mengatakan ada empat hal yang perlu diluruskan, pertama, ada perbedaan antara teologi dan sebuah usaha mempelajari agama secara obyektif. Tetapi ada orang yang hendak menghapus perbedaan ini dan mengidentifikasi teologi dan semua studi agama. Perhatian di sini diberikan pada pengertian mengenai Tuhan, manusia, sejarah, alam, kebudayaan, moral dan takdir. Kepercayaan itu membuat mereka menyebutnya sebagai kepercayaan agama, tetapi untuk banyak hal mereka tidak percaya mengenai agama.

Kedua, definisinya mengenai teologi tidak dapat dibedakan oleh unsur-unsur dasar dari pemikiran yang lain. Walau demikian perbedaan itu tidak dapat dihindari, khususnya pemaknaan mendalam mengenai eksistensi kemanusiaan. Jika dikaitkan dengan kerangka teologi prosesnya, pada sisi inilah Cobb hendak menekankan pentingnya aktivitas manusia dalam apa yang disebutnya
 actual occasion atauoccasion of experience. Manusia bertindak setiap hari, dan mewujudkan semua cita-citanya (subject aim) melalui berbagai aktifitas (creative aim). Dalam aktifitas itu dia tidak digerakkan oleh Tuhan laksana robot, melainkan Tuhan mengontrol dan mengantarnya mencapai tujuan utama yang disebutnya sebagai the initial aim.

Ketiga, definisi teologi Cobb tidak memiliki refernesi mengenai Tuhan. Tentang hal itu dijelaskannya bahwa “teologi” sebagai doktrin tentang Tuhan tetap eksis sebagai cabangan dari filsafat dalam artinya itu. Namun teologi di sini merupakan sebuah usaha berproses dengan usaha-usaha untuk mengartikulasikan iman Kristen, dari pada usaha menjelaskan tentang Tuhan. Teologi terwujud dalam pekerjaan dan aktifitas keseharian manusia, siapa pun dia. Teologi seperti itu tidak ada dalam konstatasi yang suci atau sakral. Dimensi hisup manusia tidak harus diklarifikasi antara yang suci atau sakral. Jika teologi bersikukuh dalam lingkungan itu, ia menjadikan dirinya sebagai sebuah “pope work” (kerja para imam), dan bukan “what people deeds” (apa yang dilakukan manusia –berteologi/in doing theology).

Keempat, teologi itu adalah apa yang dilakukan oleh jemaat secara murni/asli. Tentunya berupa refleksi teologi sebagai anggota jemaat/masyarakat mulai dari kelompok masyarakat perdana yang kemudian memandu munculnya pandangan-pandangan atau pengalaman agama yang baru. Dalam kaitan itu teologi adalah usaha berkelanjutan, dan tidak terputus di satu titik tertentu apalagi harus stagnan dan tidak berkembang. Teologi tidak memiliki label tunggal, tetapi akan terus berkembang dan berubah menuju formula dan bentuk pengetahuan serta pengalaman yang baru atau unik.

Kerangka pikiran tersebut merupakan gambaran mengenai duduk perkara teologi dalam khazanah ilmiah. Bahwa dalam kerangka itu berbagai trend teologi bermunculan. Mulai dari teologi konvensional, tradisional, kemudian berkembang ke arah teologi kontekstual dalam berbagai perspektif seperti teologi liberal (Amerika Latin), minjung (Korea), da-lit/orang miskin (India), teologi leluhur (Australia), teologi kerbau (Thailand), dan ragam formulasi teologi lainnya.

Muncullah trend teologi-teologi itu memperlihatkan, bahwa berteologi adalah sebuah usaha berkelanjutan (continuity), tetapi sekaligus juga keterputusan (discontinuity). Berkelanjutan sebab teologi harus bergumul dalam iman yang sudah ada dan bertitik tolak dalam iman itu. Dari situ iman itu dinyatakan. Dia adalah suatu kegiatan yang terlibat (participate). Akan tetapi juga keterputusan, karena melalui teologi itu iman harus dirumuskan dalam suatu pandangan (thought). Dengan demikian dalam teologi ada dimensi partisipasi, refleksi dan ekspresi.
Sisi partisipasi refleksi mengandaikan teologi dalam pengertian praktis, menyangkut pemberlakuannya di dalam kehidupan nyata. Bahasan yang sering digunakan adalah “berteologi/in doing theology”. Pada sisi itu teologi merupakan keterlibatan langsung manusia di dalam lingkungan sosialnya. Sedangkan sisi ekspresi menempatkan teologi dalam kerangka ilmu yang memiliki standar-standar akademis yang jelas. Ia adalah disiplin ilmu yang diajarkan setiap orang, memiliki perspektif dan paradigma tertentu, dan selalu terbuka pada perkembangan dunia ilmu itu sendiri.

Dari situ tergambar, bahwa teologi tidak dapat dibatasi hanya pada dimensi keagamaan. Teologi yang dibatasi pada dimensi keagamaan akan terjebak dalam moralisme yang naif. Ia akan cenderung verbalis, atau juga biblisentris. Kemungkinannya untuk terbuka pada realitas keseharian manusia cukup sempit, karena telah ada norma dasar yang mau tidak mau harus diikuti oleh setiap orang. Dalam batasan itu, seluruh perilaku umat dituntut agar harus sesuai dengan kitab suci.

Pada tataran beragama, corak berteologi seperti itu hanya akan melahirkan pola pemikiran dan tindakan yang fundamentalis, fanatisme dan verbalisme. Akhirnya kelompok yang menganut cara berteologi itu cenderung ekslusif, tidak terbuka bagi orang atau pikiran lain yang berbeda darinya.

Sebagai sebuah ilmu, teologi itu terbuka bagi kritik, pembaruan, perkembangan secara epistemologi dan metodologis. Teologi merupakan pergumulan kembar antara teks dengan konteks, sebuah dialektika transformatif di dalam seluruh dimensi keberadaannya. Ia terbuka dan selalu mengarah ke konteksnya. Ia ditemukan dan berkembang melalui kemampuan refleksi manusia di dalam dan terhadap konteks keseharian (daily activity). Oleh sebab itu ia ada dalam sejarah, berkembang bersama sejarah itu, mengalami sejarah, dan menentukan sebuah sejarah. Teologi merupakan sebuah peristiwa historis. Historitasnya ditandai oleh kepekaan dan kesediaannya terhadap dan untuk selalu berubah.

Prinsip perubahan dalam sejarah tidak lalu mengkonstitusikan sebuah teologi itu relativ (relativism), melainkan kontekstual transformatif. Kontekstual, karena teologi merupakan cara Gereja menjawab tantangan konteksnya. Ia merupakan perintah (imperative), bukan pilihan (option) bagi Gereja dalam rangka melakukan dialog dengan perubahan yang ada.

Transformatif, sebab pembaruan yang benar-benar baru hanya bisa dicapai dengan kesadaran untuk melepaskan “yang lama” dalam kesadaran untuk menuju pada apa yang ideal. Ia dapat terjadi dengan jalan melakukan dekonstruksi terhadap berbagai unsur yang lama. Bukan karena “yang lama” itu tidak penting atau salah, melainkan harus ada sinergitas antara formulasi beriman dengan perkembangan kemasyarakatan. Semua itu harus terjadi karena teologi tidak memiliki inventarisasi data yang baku/ konstan. Data teologi ada dalam pergumulan tetap dengan sejarah. Bahkan berubah seturut alur perubahan sejarah itu. Oleh sebab itu, transformasi penting dijadikan perspektif menuju sebuah teologi baru. Transformasi itu berjalan linear, dan selalu bergerak dalam perubahan. Ia berkembang maju – ke depan – walau tidak terlepas dari pergumulan awal – menuju pada tujuan utama (initial aim) yang dicita-citakan.

Kontekstual transformatif, merupakan jawaban atas seluruh kebutuhan perubahan melalui pembenahan pemahaman, visi, isi, bentuk, strategi dan struktur berteologi. Semua itu berlangsung dalam dialog dengan konteks.

Dari situ sebetulnya teologi kontekstual merupakan jawaban. Namun kontekstualisasi itu sendiri harus merupakan usaha progresif dengan selalu terbuka pada data baru, bukan rumusan iman yang telah ada semata yang lalu dilihat sisi kontekstualnya.

Seperti contoh, ada kesan bahwa teologi kontekstual itu apabiloa kita melakukan kajian terhadap unsur-unsur kebudayaan baik secara dogmatis, liturgis, etis, dan berbagai pendekatan lain. Sehingga sering ditemui karya teologi yang membawa unsur-unsur budaya (sperti perkawinan, konsep-konsep budaya mengenai Tuhan (Upu Lanite/ Tete Manis, dll), atau sistem adat lainnya. Dari data-data itu lalu dibuatlah sebuah relevansi kontekstual, dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “apakah sistem perkawinan adat itu masih relevan denganb konteks kini?” atau apakah konsep kepercayaan kepada Upu Lanite atau Tete Manis itu tidak bertentangan dengan iman Kristen mengenai Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus sebagaimana adanya kini? Pada sisi itu sebetulnya karya teologi kontekstualnya tetap konvensional.

Ada kecenderungan bahwa data teologi kontekstual adalah “warisan” budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Sehingga tidak jarang terdengar bahwa “tidak ada lagi data untuk kajian teologi kontekstual”, karena “semuanya sudah dikaji”. Anggapan ini cenderung mengartikan data teologi kontekstual sebagai “pengalaman masa lampau”. Padahal data teologi kontekstual itu juga meliputi berbagai fenomena sosial masyarakat yang aktual, mengenai perubahan tata sosial masyarakat pergeseran paradigma ekonomi, pertentangan dan perubahan tata politik negara, kecenderungan psikologis dan perubahan paradigma berpikir suatu masyarakat. Teologi adalah juga apa yang dilakukan masyarakat setiap hari dalam seluruh realitas kerjanya.

C. Kesan Metodologis dalam Pendekatan Teologi
Bagian ini akan memaparkan sisi metodologis dalam teologi atau berteologi. Agar tidak kebablasan coba diuraikan dalam pola pendekatan dalam teologi, perspektif-perspektif dalam teologi, metode-metode dalam teologi. Semua itu akan bermuara pada usaha menyusun sebuah panduan metodologi penelitian bidang teologi. Sebagai panduan, kerangka metodologi yang tersaji nanti merupakan tools untuk mengerjakan penelitian bidang teologi.

1. Pendekatan dalam Teologi
Norman K. Gottwald, dalam salah satu bukunya, “The Politics of Ancient Israel”, (2001) menyebut ada dua corak pendekatan, yang dinamakannya dengan hukum dua penyebab (dual causality principle). Dua penyebab itu adalah divine system (pendekatan yang mengarah pada dimensi ke-Tuhanan) dan human system (pendekatan kemanusiaan).

Divine System
Sketsa 1:




https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIOnmBb2jKciYaOLzWh2waTtlVkaHaEi9ZWPx6ubo7oSL4z5tAIb1PoyxejFb6vFim3i8eQ1sQHX-H1lMjmJQ3G8eu4pbrB0Ki6nwEYEu7fDLt_gZCroAAh-1K_lJO0aEzuAEZ2b2RUJc/s320/divine+system+ok.jpg

Sketsa ini menggambarkan dunia dalam bentuk lingkaran atau gerak dunia adalah sebuah gerak siklis, dari satu titik, ke titik yang lain, dan kembali lagi ke titik semula. Nampak bahwa Tuhanh berada di atas semua elemen kemanusiaan. Otoritas Tuhan berada di atas semua elemen kemanusiaan, dan bisa juga otoritas organisasi (Gereja). Sementara masyarakat (umat beragama) berada pada lintang horisontal dan berhadapan lingkungan dan mengarah ke Tuhannya. Dalam kedudukan itu, masyarakat menanggapi konteksnya serta bertindak sesuai dengan amanat otoritas di atasnya (Tuhan). Ia mengemban tugas pemberitaan atau penerjemahan Injil kepada penerimanya. Tugas itu dilaksanakan dengan memanfaatkan semua media yang tersedia, terutama bahasa setempat, media budaya (mis. Upacara dan simbol-simbol adat), agama, sosial, media massa (elektronik dan cetak), dll. Ketika menerima amanat, muncul sikap, perilaku, watak masyarakat terhadap dunia, serta corak pemahaman mengenai Tuhan.

Human system
Sketsa 2:

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYpEPNy5xyTBcby9wQBnlGVMpcNdwdzMF4kSFH8aplWkqz-bLEw7V0UOYH6RsZCPlq1WREaXq99vKCMVqAft2Oc-aGp8haI9FzvRhcn8DRtlFrysyBIJyaP0vrOi2EXWN9flisp0qYtqg/s320/human+system.jpg


Berbeda dengan sketsa 1, di sini dunia diibaratkan sebagai sebuah lintang linear yang bergerak ke depan. Masyarakat menempati lingkup utama dunia. Masyarakat berada dalam sebuah konstruksi plural, terdiri dari berbagai latar belakang agama, ras, budaya, bahasa, politik, profesi, dll. Dalam konteks kemajemukan itu, teologi ada dan mengalami dinamika yang sama dengan dinamika masyarakat. Teologi merupakan citra kontekstual yang historis dan berkembang dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu mesti dimengerti dalam kerangka imanensi, yaitu kehadiran secara eksistensial dalam kehidupan masyarakat manusia. Dalam arti itu, teologi juga dimiliki secara bersama oleh masyarakat yang berbeda-beda, dengan cara berbahasa yang sesuai dengan konteks masing-masing.

Teologi tidak mengacu dari “amanat”, melainkan karena kesadaran dan pengalaman kesehariannya, ia merumuskan visi, strategi, bentuk dan cara-cara yang tepat dalam berteologi. Dalam usaha itu, teologi berhadapan dengan tantangan konteks, berupa perubahan sosial yang bergerak dari waktu ke waktu. Akibatnya terbentuklah corak pemahaman masyarakat mengenai lingkungan, sesama dan Tuhan. Teologi pada awalnya adalah refleksi manusia mengenai diri, sesama dan lingkungannya. Refleksi itu yang kemudian menentukan pemahamannya mengenai otorita di atasnya, yaitu otorita dan realitas Tuhan.

Gambaran Gottwald, tersebut menjelaskan kepada kita bahwa kedua corak berpikir itu terus mewarnai teologi kita. Tanpa sadar kita terlalu jatuh berat pada satu (terutama
 divine system), sehingga teologi kita cenderung spiritualis; hilang konsentrasi sosialnya.


2. Beberapa Perspektif dalam Teologi
Perspektif tua dalam teologi kita adalah perspektif naturalis, yaitu refleksi filsafat tentang dasar dan tujuan kahir dari “mengada kita”. Ia berkisar antara tema-tema penciptaan, pemeliharaan, pemulihan dan penebusan, atau dengan gamblang membentang sejarah penyelamatan (heilsgeschichte).

Sambil mengembangkan kerangka filsafat proses Whitehead, Cobb mengartikan teologi naturalis itu sebagai kisaran diskursus seputar pernyataan-pernyataan seperti pengakuan iman, kitab suci, dan rumusan-rumusan lainnya seperti diucapkan oleh para teolog di masa lampau. Cobb tidak menyangkali pentingnya corak itu. Bahkan baginya semua pandangan itu perlu bukan untuk menentukian mana yang salah dan benar, tetapi mana yang berguna dan dapat digunakan. Kesan lebih bahwa hal-hal itu kiranya dijadikan sebagai perspektif dalam berteologi. Sebab memutlakkan unsur-unsur itu sebagai dasar teologi adalah salah kaprah. Hal-hal itu merupakan bagian dari studi agama. Teologi mesti dibedakkan dari studi agama; sebab tujuan studi agama supaya orang memahami doktrin-doktrin agama itu, ia merupakan salah satu saja unsur dalam teologi menurut agama tertentu.

Mengingat terbatasnya perspektif naturalis itu, kemudian berkembang perspektif-perspektif baru dalam berteologi. Orang lalu mengembangkan seperti perspektif fenomenologis, dan kemudian fenomenologi sejarah dalam teologi. Usaha-usaha Mircea Eliade, Evans-Pritchard, dll ke dalam perspektif ini sebetulnya merupakan usaha mengembangkan studi antropologi dan sosiologi agama. Mereka kemudian tiba pada sebuah fakta kemanusiaan dan kemasyarakatan yang memerlukan pendasaran sejarah budaya sebagai tools untuk melihat sebetulnya sejarah kepercayaan masyarakat.

Mengenai hal itu para pendahulu mereka seperti Freud, James Fowler, atau juga Piaget dan Kohlberg, telah mengedepankan perspektif Psikologis dalam rangka memahami dimensi kepercayaan manusia itu.

Perspektif sosiologis kemudian mewarnai dunia teologi dan/ atau agama-agama. Perspektif ini cenderung melihat sisi sosial kehidupan masyarakat sebagai “locus theology” yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan terutama berkembang dalam lingkungan agama-agama, termasuk dijadikan semacam tools dalam rangka menafsir kitab suci.

Dalam perkembangannya, perspektif teologi itu muncul seiring dengan perkembangan kontemporer masyarakat. Di sini dapat dilihat seperti teologi developmentisme, teologi feminim, atau gender, atau teologi dunia ketiga, dll. Perspektif-perspektif itu memperlihatkan bahwa perubahan dalam berteologi signifikan dengan perubahan metodologi itu sendiri. Dengan demikian apa pun argumentasinya, metodologi dalam teologi memainkan peran kunci dalam rangka mengembangkan dan membarui teologi itu sendiri.

3. Metode-metode dalam Teologi
Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa teologi merupakan sebuah fenomena fenomenologis. Ia dipahami, dicari, dikembangkan, dirumuskan, diberlakukan, diuji, dirumuskan ulang, dst. Refleksi teologi adalah refleksi berproses dengan lingkungan, refleksi di dalam sejarah yang selalu berkembang. Hardiyanto, menjelaskan bahwa dari apa yang dipikirkan, dipahami, dst itu terlihat bahwa yang terjadi itu dikerjakan secara sistematis, dengan metode-metode yang disempurnakan, dan dalam suatu dialog yang meliputi seluruh dunia beriman.dari sana nyata bahwa kita sudah melakukan teologi sejak kita mulai berpikir mengenai iman, meskipun dalam bentuk yang spontan, sedikit banyak kebetulan, tidak secara sistematis dan ilmiah. Dengan demikian teologi mengintegrasikan iman kita ke dalam kehidupan kita sebagai subyek yang berkepribadian, yang berpikir dengan bebas. Jadi (a) kalau kita ingin ikut-serta dalam fenomen sosial yang disebut teologi Kristen, kita diarahkan kembali secara refleksif ke iman, dan dengan demikian ke kenyataan eksistensial kita yang paling dalam; (b) kalau kita ingin memenuhi keperluan eksistensial yang termuat dalam iman, kita merealisasikan iman sebagai pribadi yang bebas dan berpikir, maka kita mengembangkan hal atau kegiatan teologi.

Pada tataran itu penting diketahui metode-metode dalam teologi. Ini penting dalam rangka menjaga jarak kritis antara teologi dengan lingkungannya, serta membuat peta yang jelas tentang sisi teologi dan sisi agama. Kunci menggunakan metode dalam teologi adalah (a) untuk menghayati dialektika teks dan konteks, atau wahyu dan isi wahyu; (b) sebagai jembatan penghubung antara subyek yang berteologi dengan obyek teologi itu; (c) untuk mengasimilasikan wahyu dalam rangka memahami peristiwa (the fact) dan makna (the meaning) dari peristiwa tertentu.
Dengan demikian ada tiga metode dalam teologi, yaitu:

1. Metode historis; yang akan menentukan fakta; dan oleh karena fakta diketahui melalui dokumen-dokumen: metode akan menentukan keotentikan dan bentuk asli (kritik teks) dari dokumen-dokumen tersebut.

2. Metode hermeneutis; pertama-tama akan menentukan arti dari dokumen-dokumen itu (eksegesis teks), lantas mencari arti yang paling dalam baik dari kesaksian dokumen-dokumen maupun dari peristiwa-peristiwa sendiri.

3. Metode antropologis; yang diperlukan untuk mencapai pengertian tentang subyek manusiawi dan dunianya; dalam bidang ini semua bidang ilmu manusia, yang berpusatkan pada filsafat manusia yang utuh, menyumbangkan hasilnya pada teologi.
Ketiga metode itu tidak dapat dilepaspisahkan, melainkan mesti digunakan secara mutual, dalam arti saling mengisi. Walau demikian, setiap metode mesti dikerjakan sesuai dengan kaidah metode masing-masing.

Teologi menggunakan metode historis, hermeneutis dan antropologis dari ilmu-ilmu lain, dan dalam cara menggunakannya juga tidak berbeda dengan ilmu-ilmu yang lain itu. Teologi menentukan suatu fakta historis, keotentikan atau bentuk asli atau arti dari suatu dokumen, struktur dari suatu kegiatan atau institusi manusiawi, tepat seperti ilmu-ilmu lain itu bekerja. Yang paling-paling dapat dikatakan khusus dalam teologi ialah bahwa penggunaan dan perjalanan langkah demi langkah dari metode-metode itu ditentukan oleh intensi iman, dan diarahkan ke kesatuan yang ditentukan oleh iman. Dengan perkataan lain, terhadap metode-metode, iman berlaku sebagai asas pembentuk, yang menyatukan dan menghidupkan.

Dengan demikian teologi merupakan usaha refleksif, metodis dan sistematis, yang akan mengasimilasikan dan mengekeplisitasikan wahyu ilahi secara manusiawi; usaha refleksif, metodis dan sistematis yang akan menerima wahyu ilahi dengan pengertian (fides in statu scientiae). Teologi memakai metode historis, hermeneutis dan antropologis, menurut hukum-hukum dari metode tersebut dalam ilmu-ilmu lainnya. Semua metode tersebut lantas dipersatukan dan diarahkan oleh intensi teologi, yaitu pemahaman iman.

Kepustakaan

Bevans, Stephen B.,
 Models of Contextual Theology, New York, Maryknoll: Orbis Books, 1992
Dhavamony Mariasusai,
 Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
John B. Cobb, Jr, and David Ray Griffin.
 Process Theology: an Introductory Exposition, Philadelphia: The Westminster Press, 1976
-------,
 A Christian Natural Theology Based on the Thought of Alfred North Whitehead, dalam From Whietehead to the Process Theology, Compose and adapted by Elifas Tomix Maspaitella, Salatiga, 2002, h. 168. Taken from www.religion-online.org
Gottwald Norman K., The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction, (Philadelphia: Fortress Press, 1987
------,
 The Politics of Ancient Israel, Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2001
Hardiyanto Anjar S.,
 Pengantar ke Teologi Lambaran: Obyek ~ Persoalan Dasar ~ Metode, Salatiga: Fakultas Teologi dan PpsAM Universitas Kristen Satya Wacana, 1998
Maspaitella Elifas T.,
 Persepuluhan: Tafsir Sosiologi Terhadap Rumusan Hukum Sosio-Ekonomi dalam Perjanjian Lama, Paper Rapat Teknis Ketua-Ketua Klasis GPM, Juli, 2002
-------, Materi Diskusi Reguler FST GMKI Kom. Teologi dan Semah Fak. Teologi UKIM, 16 November 2002. Materi ini diangkat dari tulisan saya Penelitian Bidang Teologi, 200
Supratiknya A. (eds),
 Teori Perkembangan Kepercayaan: karya-karya Penting James W. Fowler, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Titaley John,
 Menuju Teologi Agama-agama yang Kontekstual, Pidato Ilmiah dalam rangka Pengukuhan Guru Besar Bidang Teologi di UKSW, Salatiga, 2001

Catatan Kaki:
Materi Diskusi Reguler FST GMKI Kom. Teologi dan Semah Fak. Teologi UKIM, 16 November 2002. Materi ini diangkat dari tulisan saya Penelitian Bidang Teologi, 2002
Identifikasi diri itu semakin memperkuat ekslusifisme. Pada sisi pemhaman dogmatik, ada kelompok yang melihat kerusuhan sebagai realitas pararel dengan konteks pembuangan Israel di Mesir atau Babel. Sehingga umat diminta bertahan, sebab ada waktu penggenapan janji pembebasan dari Tuhan. Riskannya lagi jika ada teolog yang mengatakan justru kerusuhan ini adalah bagian dari wahyu Tuhan.
Anjar S. Hardiyanto, Pengantar ke Teologi Lambaran: Obyek ~ Persoalan Dasar ~ Metode, Salatiga: Fakultas Teologi dan PpsAM Universitas Kristen Satya Wacana, 1998, h. 14
John B. Cobb, Jr, adalah penganut Teologi Proses, suatu aliran Teologi yang mencoba menguraikan dasar-dasar pemahaman mengenai hubungan Tuhan dan Manusia dalam aktifitas kemanusiaan (actual occasion), menuju pada tujuan utama kehidupan (initial aim). Beberapa seri karangannya mengenai teologi proses a.l. Process Theology: an Introductory Exposition, Philadelphia: The Westminster Press, 1976 (bersama David Ray Griffin), dan Process Theology as Political Theology, Philadelphia: The Westminster Press and Manchester University Press, 1980.
Bnd. John B. Cobb, A Christian Natural Theology Based on the Thought of Alfred North Whitehead, dalam From Whietehead to the Process Theology, Compose and adapted by Elifas Tomix Maspaitella, Salatiga, 2002, h. 168. Taken from www.religion-online.org.
Ibid, h. 168-171
John B. Cobb and David Ray Griffin, Process Theology: an Introductory Expisition, Philadelphia: The Westminster Press, 1976, h. 15 dyb
Bnd. John Titaley, Menuju Teologi Agama-agama yang Kontekstual, Pidato Ilmiah dalam rangka Pengukuhan Guru Besar Bidang Teologi di UKSW, Salatiga, 2001, h. 4
Bnd. Stephen B. Bevans, Models of Contextual Theology, New York, Maryknoll: Orbis Books, 1992.
Norman K. Gottwald, The Politics of Ancient Israel, Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2001, h. 252, 319, 320.
Oleh sebab itu, kemudian gambaran dan definisi mengenai Tuhan itu berbeda-beda pada setiap agama. Bahkan secara kontekstual di Maluku, identifikasi nama diri Tuhan pun berbeda untuk setiap kelompok masyarakat. Dapat dicatat konsep Upu/ Upler, atau definisi Tuhan dalam istilah “Tete Manis” untuk masyarakat Maluku Tengah secara umum. Namun bagi komunitas berbudaya di Ameth (Nusalaut), definisi Tuhannya ialah “El-Meseh”. Ini merupakan cara kontekstual mereka mengerti dan memahami Tuhan.
Anjar S Hardiyanto, op. cit, h. 14
John B. Cobb, A Christian Natural Theology Based on the Thought of Alfred North Whitehead, dalam From Whitehead to the Process Theology, Compose and adapted by Elifas Tomix Maspaitella, Salatiga 2002, h. 168. Taken from www.religion-online.org.
baca juga, Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
baca juga, A. Supratiknya (eds), Teori Perkembangan Kepercayaan: karya-karya Penting James W. Fowler, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Di sini sumbangan Gottwald dengan “Sociological Exsegetics” penting dilihat sebagai bagian dari pentingnya ilmu sosial dalam teologi dan/ atau menafsir Alkitab. Untuk itu beberapa referensi patut dirujuk a.l. Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction, (Philadelphia: Fortress Press, 1987), by. Norman K. Gottwald, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1983; Elifas T. Maspaitella, Persepuluhan: Tafsir Sosiologi Terhadap Rumusan Hukum Sosio-Ekonomi dalam Perjanjian Lama, Paper Rapat Teknis Ketua-Ketua Klasis GPM, Juli, 2002.
Hardiyanto, op.cit, h. 15,16
ibid, h. 24
Ibid, h. 24, 25
Ibid, h. 26, 27
posted by elifas maspaitella at 8:13 pm http://www.blogger.com/img/icon18_email.gif
labels: teologi

2 komentar: