Rabu, 09 Maret 2011

Pluralisme agama

Kata pluralisme sampai saat ini masih berada dalam perdebatan sengit, apalagi ketika kata ini ditujukan kepada masalah kemajemukan agama dan keyakinan. Bagi sebagian orang Pluralisme adalah sebuah ajaran sesat yang seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan bagi kelompok yang lain sangat menekankan sikap yang pluralistis dibidang apapun, termasuk dalam bidang agama. Pluralisme agama merupakan tantangan sekaligus kebutuhan, dan secara sosiologis masalah pluralisme tidak dapat terelakkan.

Pemaknaan terhadap kata ini juga beragam. Bagi Nurcholish Madjid, misalnya, religious plurality tidak harus diartikan secara langsung sebagai pengakuan akan kebenaran semua agama dalam bentuknya yang nyata sehari-hari. Akan tetapi ajaran ini menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun kelompok.[1] Pemaknaan seperti ini nampaknya belum sampai pada konsep pluralisme penuh, tetapi baru sampai pada kategori inklusivisme. Tentu saja diakui bahwa sikap inklusivisme bagaimanapun juga masih lebih menolong dan lebih baik ketimbang sikap keberagaman yang individualistik, apalagi yang eksklusif ataupun fundamentalis.[2] Harold Coward menegaskan bahwa dalam banyak pengalaman kelahiran agama-agama baru yang muncul dalam lingkungan yang plural, bersanding dengan agama-agama lain , akan membentuk dirinya dan eksis. Ketegangan kreatif yang ditimbulkan oleh pluralisme sering menjadi katalisator bagi wawasan baru dan perkembangan agama. Jadi, tantangan ini merupakan suatu krisis sekaligus peluang untuk perkembangan rohani.[3] Agama Yahudi misalnya bertumbuh dan mendapatkan bentuk monotheisme yang murni dalam sejarah perjalanan panjangnya berinteraksi dengan agama dan kepercayaan lain, bahkan pada masa pembuangan dan setelahnya agama Yahudi semakin menemukan bentuk yang sebenarnya.[4] Kekristenan baru menjadi agama yang besar dan mengusai daerah Eropa dan sebagian Asia Kecil, ketika jauh dari Yerusalem tanah kelahiran Yesus Kristus.[5] Sedangkan Islam menemukan kebebasannya ketika Nabi Muhammad memutuskan untuk melakukan Hijrah dan melakukan aliansi dengan suku-suku lain diluar Mekkah.[6] Harold Coward menginventarisasi bahwa tantangan pluralisme kegamaan menghasilkan tiga tema dan prinsip umum:[7] Pertama, pluralisme dapat dipahami dengan paling baik dan logis, jika dapat memahami Yang Satu berwujud dalam yang banyak. Hal ini memang sesuai dan bisa dimengerti, bahwa hakikatnya Tuhan hanya satu dan sama bagi semua agama. Andaikata terpaksa menjumpai perbedaan atau berlainan, maka hidup berdampingan dengan tanpa memperbandingkan secara timbal balik, masih dimungkinkan. Dan hambatan teologis dalam berbagai dialog keagamaan relatif tidak tampak. Kedua, ada pengalaman bersama mengenai kualitas pengalaman agama partikular sebagai alat. Di sini dapat dimengerti bahwa agama sebagai alat kompetisi sehat, alat pengendali kehidupan manusia, dan alat untuk mencapai Tuhan yang sama. Hanya saja perlu diwaspadai kemungkinan munculnya faham relativisme dan liberalisme beragama. Sebab seorang yang pluralis, tetap harus berpijak pada satu agama yang diyakini dengan konsisten, namun dia harus mampu bersifat arif terhadap pemeluk agama yang lain. Ketiga, spiritualitas dikenal dan diabsahkan melalui pengenalan kriteria sendiri pada agama-agama lain. Sebab bagaimanapun, pluralisme akan selalu menuntut untuk saling membagi pemahaman partikular kita, dan ini akan memperkaya rohani serta memperkuat keyakinan terhadap agama sendiri. Adapun kondisi yang yang dikehendaki oleh konsep pluralisme agama adalah; yang pertama, apabila setiap agama, demikian juga komunitas umatnya, dapat memberi tempat kepada agama lain, tidak hanya dalam perasaan toleransi sebagai warga negara kelas kedua. Yang kedua, apabila setiap agama dapat membedakan antara keyakinan dan konsekwensi moral mereka, dan yang ketiga, apabila ada konsensus yang pasti dapat dicapai oleh masyarakat yang berbeda-beda keyakinan, untuk saling menghormati tatanan moral yang penting bagi pribadi dan sikap sosial mereka.[8] Tiga kondisi tersebut sebenarnya dapat diwujudkan oleh kalangan umat beragama, selama antar mereka tercipta saling pengertian yang mendalam walaupun tetap hidup dalam agama yang berbeda-beda. Pertanyaannya sekarang adalah “Bagaimana cara yang harus ditempuh oleh umat beragama sehingga dapat mengembangkan sikap yang positif, arif, dan konstruktif semacam itu?” Tobroni dan Syamsul Arifin mengusulkan, untuk mengembangkan pluralisme menjadi kekuatan sinergis dalam kehidupan masyarakat di masa depan, maka agama-agama dalam konteks ini dijadikan landasan etis.[9] Sedangkan Th. Sumartana mengusulkan diintensifkannya dialog antara umat beragama dalam berbagai bentuk, yaitu dialog hidup, dialog aksi, dialog teologis, dan dialog pengalaman keagamaan[10] (dua dari model dialog tersebut merupakan pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini). Kegiatan dialog tersebut setidaknya akan menyentuh dua hal pokok, yakni menghidupkan kesadaran baru dalam memahami secara otentik mengenai iman orang lain, tanpa bersikap meremehkan apalagi mendistorsikan, dan mewujudkan kerjasama untuk memecahkan persoalan kemanusiaan yang nyata di masyarakat. Hal itu akan menjadi kekuatan dalam menanggulangi ekskalasi persoalan yang formatnya bersifat lintas agama.[11] Setelah itu berbagai langkah dan upaya perlu dipertimbangkan guna mengantisipasi merebaknya hambatan dan halangan serta bahaya (seperti klaim kebenaran dari masing-masing agama, konflik dan reduksionisme), antara lain: perlunya diadakan pembenahan pemahaman secara mendasar menyangkut tataran filosofis dan etis, atas sikap keberagaman umat beragama terhadap agama mereka sendiri dan agama orang lain, perlu diadakan diskusi dalam berbagai level di dalam satu agama tertentu. Hal tersebut dilakukan dengan maksud untuk menghindari salah pengertian dan sekaligus meningkatkan marturity (kedewasaan), dari umat beragama tersebut. Selain itu, dialog antara umat beragama perlu digalakkan di berbagai level.[12]

[1] Onghokham, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sejarah, dalam Th. Sumartana, dkk., (eds), Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian Interfidei, 1993), hlm. 170.
[2] MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama), Bincang Tentang Agama di Udara, Yogyakarta: LKiS, 2005, hlm. 56.
[3] Harold Coward, Pluralisme Tantangan bagi Agama-agama, terj. Bosco Carvallo, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 167-168.
[4] Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, Bandung: Mizan.20054 hlm. 87-94. [5] Ibid., hlm. 155-160. bnd. Th. van den End, Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm 16-19.
[6] Ibid, hlm. 215-223. bnd. Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis, Surabaya: Risalah Gusti, 2006, hlm. 193-202.
[7] Harold Coward, op. cit., hlm. 168-169
[8] Fatimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002, hlm 67-68.
[9] Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam, Pluralisme Budaya dan Politik, Yogyakarta: Sipress, 1994, hlm. 34.
[10] Th. Sumartana, dkk, Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta: Dian Interfidei, 1993, hlm. xvi.
[11] Ibid, hlm. xxiii-xxiv.
[12] Fatimah Usman, op. cit., hlm. 69.

2 komentar:

  1. Weitz... sip2... ternyata punya bakat jadi penulis ne... keren2..hehehe
    apapun itu, Puralisme dalam agama merupakan hal yang sulit untuk di wujudkan, terlebih di negara indonesia.

    BalasHapus
  2. hahahhaha,,,ga juga kk Oliph,.
    di kuliah kn dapat yang bgini2 to jadi bgtulah...
    "begini begitu dah jadi'a"

    BalasHapus