Minggu, 17 April 2011

Hamba Perempuan di Sumba Timur (Tugas Studi gender dan Herm. Feminis)

Dalam adat istiadat dan budaya di Sumba ada satu hal yang menarik yaitu mengenai sistem kasta yang membedakan antara kaum bangsawan (Maramba), masyarakat biasa (Kabihu) dan kaum hamba (Ata). Di Sumba Timur masih berjalan hingga saat ini walaupun zaman sudah semakin modern tetapi adat istiadat di Sumba Timur masih sangat kental. Sistem hamba di Sumba Timur ini masih di pakai sampai saat ini hamba atau ata ini bisa laki-laki maupun perempuan. Sistem hamba ini berjalan turun temurun artinya jika orang tua mereka adalah hamba dalam salah satu keluarga bangsawan maka anak-anaknya atau seluruh keturunannya pun akan menjadi hamba bagi para tuan mereka, sehingga sistem ini tidak bisa dihindari oleh siapapun dari golongan ata. Para hamba terikat dengan adat dan istiadat yang telah mereka jalani selama ini. Perlakuan para para Maramba atau Ata ini berbeda-beda, ada yang memperlakukan hamba mereka dengan baik tetapi ada juga yang berlaku seenaknya terhadap hamba mereka, hal ini kemungkinan terjadi karena perilaku yang di tunjukan oleh para hamba bagi Tuannya. Hamba disini tidak mengenal batas usia, mereka bekerja sejak masih belia, hal ini terjadi karena yang dikatakan sebelumnya bahwa hamba atau ata ini bersifat turun temurun. Mereka bekerja untuk para maramba, seperti memberi makan peliharaan, bekerja di ladang , sawah dan lain sebagainya. Dalam perkawinan yang di lakukan oleh para Maramba, misalnya Anak perempuan dari maramba menikah maka mereka akan di berikan hamba laki-laki dan juga perempuan kepada anaknya untuk ikut bersama dengan anaknya dalam keluarga barunya dan mengabdi disana. Yang ingin di bahas disini ialah bagaimana konsep hamba atau ata khususnya perempuan bagi masyarakat Sumba Timur, dari beberapa tulisan yang di baca terlihat jelas bahwa hamba laki-laki dan perempuan cenderung di perlakukan sama, artinya apa yang di kerjakan hamba laki-laki juga bisa berlaku juga bagi perempuan, tetapi sistem seperti ini juga mungkin tergantung pada siapa tuannya.
Dalam sistem perbudakan seperti ini tindakan kekerasan atau ataupun sewenang-wenang bisa saja terjadi, terkadang hamba atau budak yang tidak bersalahpun terpaksa harus mengakui sesuatu yang tidak pernah ia lakukan disebabkan karena ketatnya sistem perbudakan itu sendiri sehingga menimbulkan tekanan batin atau ketidak puasan batin. hal ini pernah di alami oleh Esty (seorang hamba perempuan yang di tuduh membunuh anaknya) pada bulan November 2006. Seorang tokoh masyarakat Sumba Timur Elias Rawamban mengakui bahwa kekerasan yang kerap terjadi pada para budak merupakan akibat dari struktur sosial yang ada dalam masayarakat Sumba.  Perbedaan kelas di Sumba berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Seorang majikan bisa punya ratusan budak, termasuk keturunan dari para budak itu. Kebanyakan budak tinggal di sebuah kampung untuk mengurusi peternakan, sawah atau ladang milik sang tuan. Ternak majikan bisa sebanyak jumlah budak, sampai ribuan sapi atau babi. Makin banyak ternaknya, makin tinggi kelas sosialnya.
 Aktivis perempuan Sumba dari LSM Solidaritas Perempuan dan Anak, Respati Nugrohowardani bercerita makin banyak jumlah Ata, Maramba akan makin senang. Karena banyak sumber tenaga yang bisa di perbudak. Upaya mendobrak perlakuan diskriminatif macam begini bukannya tak ada. Sejumlah aktivis hak asasi manusia berulang kali lantan bicara, supaya pemerintah meninjau kembali adat ini. Tapi pemerintah daerah setempat seolah tak dengar. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pejabat atau petinggi di pemerintahan sebagian besar adalah bangsawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar