Jumat, 29 Juli 2011

“Peran Pemimpin Kristen dalam Masyarakan Pancasila”

Teologi Kepemimpinan dan Manajemen
“Peran Pemimpin Kristen dalam Masyarakan Pancasila”

Logouksw.jpg
Nama         : Leni Yunita Tanaem
NIM  : 712007032


Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya wacana
                                                           Salatiga
                                                              2009

Pemimpin Kristen dalam masyarakat Pancasila
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk dimana dalam masyarakat Indonesia terdapat banyak sekali perbedaan, baik suku, agama, dan kehidupan social. Dalam kemajemukan yang ada di masyarakat kita seberapa besar peran dan makna pemimpin Kristen dalam mengatasi hal ini? Sebelum menjawab itu kita perlu tahu seperti apa pemimpin Kristen yang kita harapkan, dari beberapa sumber yang ada menyebutkan bahwa pemimpin Kristen yang di harapakan ada dalam masyarakat majemuk di masa kini adalah:
1.      Pemimpin yang mempunyai visi
2.      Pemimpin yang mau bekerja sama
3.      Pemimpin yang mampu menciptakan kader-kader pemimpin baru yang bertanggung jawab
4.      Pemimpin yang dapat memulihkan warga yang tersandung
Kepemimpinan didasarkan atas premis utama, yaitu bahwa Allah, oleh kehendak-Nya yang berdaulat, menetapkan serta memilih setiap pribadi dalam lingkup dan konteks pelayanan menjadi pemimpin. Sikap ini perlu dipertegas dengan memperhatikan bahwa seorang pemimpin adalah seorang individu yang telah ditebus Allah, yang olehnya ia harus yakin bahwa ia terpanggil untuk memangku tanggung jawab kepemimpinan. Kebenaran ini pada sisi lain, menegaskan bahwa Allah telah mengaruniakan kepadanya kapasitas teguh untuk memimpin, sehingga ia dapat membuktikan diri sebagai pemimpin sejati (Lihat: Kejadian 12:1-3; Keluaran 2-7; dan 18, Roma 12:8). Seorang pemimpinan dalam pandangan Kristen harus memahami dasar kepemimpinan Kristen bahwa ia terpanggil sebagai “pelayan-hamba” (Makus 10:42-45). Pemimpin Kristen harus memiliki motif dasar yaitu “membina hubungan” dengan orang yang dipimpinnya dan orang lain pada umumnya (Markus 3:13-19; Matius 10:1-4; Lukas 6:12-16). Dalam kaitan ini, perlulah disadari bahwa kadar hubungan-hubunganlah yang menentukan keberhasilan seseorang sebagai pemimpin. Kemudian, “mengutamakan pengabdian” (Lukas 17:7-10). Mengutamakan pengabdian menekankan bahwa “kerja” adalah fokus, prioritas, sehingga ia akan mengabdikan diri untuk melakukan tugas kepemimpinan dengan sungguh-sungguh.

Dasar perilaku etika-moral kepemimpinan dalam Kristen adalah pribadi Yesus Kristus, termasuk kehidupan, karya, ajaran dan perilaku-Nya, di mana seluruh kerangka kepemimpinan Kristen dibangun di atas dasar ini (I Yohanes 2:6). Orientasi dan pendekatan etika-moral kepemimpinan Kristen bersifat partisipatif yang berlaku dalam penerapan kepemimpinan Kristen pada segala bidang hidup (Lukas 4:18-19). Kepemimpinan Kristen terwujud oleh adanya transformasi hidup (individu/masyarakat) yang dibuktikan dengan pertobatan/pembaharuan/pemulihan hidup dan semangat kerja (individu/korporasi; banding: Roma 12:1-2, 8, 9-21). Motivasi dasar seseorang pemimpin seperti ini akan sangat menentukan sikap, perilaku, kata dan tindakan dari orang tersebut, baik terhadap diri, orang lain maupun pekerjaan. Karena itu, seorang pemimpin Kristen perlu memastikan apakah ia memiliki dasar etika-moral, orientasi dan motivasi yang sesuai dengan Firman Allah.
Pemikiran T.B Simatupang Mengenai peemimpin Kristen dalam masyarakat Panacasila yang terkandung dalam pengamalan Pancasila
Menurut almarhum pengamalan Pancasila sila pertama meliputi dua tugas, yaitu, Pertama, adanya tugas bersama bagi golongan – golongan beragama untuk meletakan landasan moral, etik dan spiritual bagi pembangunan sebagai pengamalan Pancasila. Kedua, tugas bersama untuk membangun secara positif negara yang bukan negara agama dan bukan negara sekuler, yaitu negara Pancasila.
Pendapat ini selaras denga isi ketetapan MPR no.II/ MPR/1988 tentang GBHN, pola umum Pelita V bagian pendahuluan butir 5.a : Pengamalan sila keTuhanan Yang Maha Esa yang antara lain mencakup tanggung jawab bersama dari semua golongan beragama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk secara terus menerus dan bersama – sama meletakan landasan moral, etika dan spiritual yang kokoh bagi Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
Kemudian khususnya bagi Kekristenan beliau melanjutkan,Bagi teologi Kristen itu berarti mengembangkan pemikiran teologi yang pada satu pihak mempunyai landasan yang kuat dalam Alkitab dan pada pihak lain dengan bertolak dari Alkitab memberikan sumbangan yang dapat diterima oleh semua golongan umat beragama dalam rangka tugas bersama tadi, sebagai sumbangan pikiran yang memiliki kebenaran yang bersifat hakiki bagi setiap manusia, apapun agamanya.
Hal ini berarti setiap agama -khususnya Kristen- dituntut untuk memberikan sumbangan pemikiran yang netral. Dalam arti tidak hanya bisa di gunakan bagi agama tertentu saja tetapi berlaku juga bagi semua umat beragama. Dengan demikian sumbangsih terebut tidak hanya bersifat agamis tetapi juga Pancasilais.
Kemudian pengamalan Pancasila sila ke dua harus bisa menlindungi hak – hak asasi manusia. Beliau mengatakan bahwa pengamalan sila ke dua adalah :“… pada satu pihak menjamin, menghormati dan melindungi martabat dan hak – hak asasi dan aspirasi – aspirasi manusia yang melekat kepada dirinya sebagai makhluk yang luhur dan di pihak lain menjamin pula adanya pencegahan, pengawasan dan koreksi terhadap penyalah gunaan oleh manusia terrhadap mandat dan tanggung jawab yang dtierima dari Tuhan itu.” Hal ini berarti menuntut suatu kehidupan manusia  yang betul – betul beradap yang selalu bertidak dengan hati – hati dan senantiasa menghargai orang lain. Dengan demikian tindakan barbarisme yang membabi buta tanpa menghargai hak – hak orang lain tidak berlaku dalam negara Pancasila.
Kemudian pengamalan sila ketiga “... berarti menuntut adanya hak dan kewajiban dan tanggung jawab yang sama bagi tiap warga negara tanpa adanya diskriminasi. Sebab diskriminasi bertentangan dengan peri kemanusiaan dan per keadilan.” Disinggungnya perihal diskriminasi pada bagian ini karena diskriminasi bisa merusak persatuan Indonesia yang selama ini telah terjalin erat.
Pengamalan sila ke-empat menuntut peran agama untuk ambil bagian. Menurut beliau, “… tiap – tiap agama memberikan landasan bagi pertumbuhan demokrasi.” Demokrasi membutuhkan kesiapan mental yang mantap. Jika salah satu pihak kalah dalam suatu pesta demokrasi maka pihak tesebut harus dengan lapang dada menerima kekalahan. Dan dalam hal ini agama turut berperan besar dalam membentuk manusia yang berjiwa besar.
Dalam pengamalan sila ke-lima beliau menuntut setiap agama untuk tidak hanya bekerja dalam dimensi operasional tetapi juga struktural. Karena menurut beliau selama ini pemikiran agama – agama mengenai keadilan hanyabersifat operasional saha dengan mengabaikan segi – segi struktural.
Khususnya bagi agama Kristen, beliau menekankan bahwa sumbangan pemikiran yang mengamalkan Pancasila harus bersifat positif, kreatif, kritis dan relistis. Positif artinya terbuka terhadap yang baik. Kreatif berarti dalam kuat kuasa Roh Kudus menggantikan hal yang tidak berguna dengan yang baru atau menambahkan yang baru kepada yang sudah ada. Kritis berarti melihat sesuatu dalam terang Firman Tuhan. Dan realistis artinya sadar akan waktu dan batas – batas kenyataan dan tidak terbawa dalam impian yang kosong.
Dan yang menjadi penutup bagian ini sekaligus merupakan inti dari pemikiran beliau adalah : “Sumbangan pikiran itu harus dekembangkan dalam perspektif  iman Kristen dan memperoleh motivasi dan inspirasi iman Kristen. Namun sumbangan pikiran itu harus dapat ditawarkan kepada bangsa kita tidak selalu dengan cap “Kristen” melainkan sumbangan pikiran dalam rangka kemanusiaan, ke-Indonesiaan dan ke-Pancasilaan kita bersama”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar