Tugas Eklesiologi :
KONTEKSTUALISASI BUDAYA DALAM GEREJA khususnya GMIT
Pendahuluan
- Latar belakang
Berbicara mengenai Gereja dalam konteks Indonesia maka dalam makalah ini saya mengambil topik Kontekstualisasi budaya dalam GMIT. Untuk membahas kontekstualisasi budaya dalam gereja kita perlu mengetahui apa yang dimaksudkan dengan kontekstualisasi, faktor-faktor apa yang menyebabkan kontektualisasi dan bagaimana masyarakat Kristen Indonesia mengusahakan gereja dalam konteks Indonesia. Istilah kontekstualisasi pertama kali dicetuskan oleh Aharon Sapaezian dan Shoki Coe, pada direktur Theological Education Fund WCC pada tahun 1972. Karena menilai bahwa indegenisasi (Indigenization of Theology) tidak memadai, maka konsep kontekstualisasi diangkat untuk mengusahakan indegenisasi teologia dengan menerima input proses sekularitas, teknologi, serta pergumulan demi hak asasi manusia yang merupakan "The Historical Moment of Nations in the Third Wordl".[1]
Faktor-faktor yang menimbulkan atau menuntut kontekstualisasi:
· Dominasi Budaya : Kesadaran bahwa misi barat bukan saja membawa Injil, tetapi sekaligus menuntut adopsi budaya barat dalam proses misi mereka.
· Teologi Barat yang Tidak Relevan : Istilahnya agenda dan program yang dimasak di luar negeri disadari tidak cocok untuk situasi lain. Kegagalan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak ditanyakan di dunia ketiga.
· Gerakan-gerakan Nasionalisme : Kemerdekaan dari imperialisme dan kolonialisme negara negara barat sekaligus membawa akibat nasionalisasi lembaga-lembaga termasuk gereja.
· Contoh-contoh Alkitab : Kisah Para Rasul 15, Yerusalem mengusulkan kontekstualisasi trans-suku dengan menganjurkan agar orang-orang non Yahudi menghindari pratik-praktik yang menghalangi terjangkaunya orang-orang Yahudi oleh Injil.
James O. Buswell III, seorang Injili mengusulkan tiga bidang cakupan kontekstualisasi:
ü Kontekstualisasi penyaksi itu sendiri (Inculturation)
ü Kontekstualisasi jemaat dan pemimpinnya (Indigenization)
ü Kontekstualisasi Firman (Trasnlation & Ethnotheology)
Kontekstualisasi gereja di Indonesia bertujuan untuk menunjukan identitas gereja di Indonesia yang selama ini masih terikat dengan budaya barat, walaupun agama Kristen di Indonesia di perkenalkan oleh orang barat tetapi kita harus menyadari bahwa tidak selamanya kita harus tergantung pada budaya mereka, kerena kita juga memiliki budaya sendiri.
Cakrawala kontekstualisasi:
Ø Teolog sebagai individu mengusahakan kontekstualisasi.
Ø Komuni gereja yang berkontekstualisasi secara otentik Kontekstualisasi merupakan tanggung jawab gereja lokal. Perlu dibedakan bahwa Kontekstualisasi (berteologi) di Barat baru berlangsung jika dituang dalam tulisan, catatan kaki. Di dunia timur melalui cerita, simbol-simbol. Di barat "menguraikan" teologi di Afrika misalnya mereka "hidup" teologinya. John Mbiti "African Christians put their first into practice; afterwards only a few then care to deal with the theoretical theology of forth."
Ø Gereja yang melakukan ini mengasumsi:
- Bahwa kebutuhan mereka dipenuhi Yesus
- Bahwa jemaat itu merupakan badan yang bersaksi
- Menerima aspek-aspek budaya yang berkenan kepada Yesus
- Mengkonfirmasi aspek budaya yang berbahaya bagi kesehatan iman
Ø Gereja yang berkontekstualisasi seharusnya:
- Menganalisa diri - apakah berkarunia untuk itu
- Mempelajari budaya - apakah budaya itu aktual/alkitabiah atau melawan Alkitab
- Menafsirkan Firman - setia kepada isi berita
Ø Kontekstualisasi yang sah (tanpa kehilangan sifat teologi biblika, Injil dan relevan) mesti mengeksegese text (wahyu) dan konteks (budaya) atau bisa exegese the word (dunia) dan the world (Firman) terutama. Jangan lupa yang terpenting bukan dimana kontekstualisasi itu? Tetapi apa yang dikontekstualisasikan?
Ø Hamba Tuhan teolog Injili yang dilengkapi ilmu tafsir yang komplit dengan keyakinan akan wahyu yang tepat disertai pimpinan Roh Kudus memang lebih peka terhadap text dan context dan karena itu berkontekstualisasi teologia.[2]
Kontekstualisasi gereja merupakan suatu misi gereja di Indonesia untuk menjadi gereja yang mandiri tanpa harus terikat dengan budaya atau pengaruh dari negara-negara barat. Kata "kontekstualisasi" telah ditambahkan pada perbendaharaan kata dalam bidang misi dan teologi sejak diperkenalkan oleh Theological Education Fund (TEF) pada tahun 1972(1). Konteks pembicaraan tentang kontekstualisasi dalam diskusi TEF adalah pendidikan teologi di negara-negara dunia ketiga(2). Namun, para misiolog menyadari bahwa ide dari kontekstualisasi itu sendiri sebenarnya sudah ada jauh sebelum TEF bersidang, yaitu terdapat di Kitab Suci(3). Contohnya adalah inkarnasi Yesus Kristus dan pendekatan Paulus pada waktu ia mengomunikasikan Injil kepada orang bukan Yahudi (Kis. 17:16-34; 1 Kor. 9:19-23).[3]
Dalam tulisan Prof. DR. JOHN TITALEY yang berjudul DEKONSTRUKSI DAN REKONSTRUKSI TEOLOGI MENUJU TEOLOGI INDONESIA YANG KONTEKSTUAL, beliau menuliskan bagaimana masyarakat Kristen Indonesia menjadikan Kekristenan sebagai bagian Integral dari masyarakat Indonesia. Sebagai suatu agama dunia yang datang bersamaan dengan kehadiran bangsa Eropa di kepulauan Nusantara, yang kemudian menjadi Indonesia, maka haruslah dikritisi budaya pembungkusnya agar keinginan seseorang untuk berhubungan dengan Tuhan tidak dialihkan menjadi hubungan dengan budaya asal agama tersebut. Kalau tidak, maka perkembangan agama menjadi perkembangan budaya bangsa tertentu sehingga budaya asli manusia itu hilang sama sekali. Kalau ini yang terjadi Tuhan telah dihilangkan dalam agama itu digantikan budaya asal agama tersebut. Bahayanya, Tuhan bahkan bisa direndahkan sebatas budaya asal agama tersebut, sehingga Tuhan lalu direndahkan berbudaya Yahudi, Barat, Arab, india, dan sebagainya. Kalau ini yang terjadi, maka agama telah kehilangan maknanya yang sejati, yaitu menuntun manusia untuk menghayati kemanusiaan yang sejati dengan Tuhan dan sesamanya. Salah satu cara untuk menghindari hal tersebut ialah dengan kontekstualisasi.[4]
Stephen B. Bevans mengatakan bahwa suatu teologi barulah menjadi teologi apabila dia kontekstual. Baginya suatu teologi kontekstual adalah berteologi dengan memperhatikan Roh dan berita dari Injil, tradisi Kristen, kebudayaan tempat seseorang berteologi, perubahan sosial dalam kebudayaan tersebut, baik yang disebabkan oleh perubahan teknologi Barat atau perjuangan rakyat keeil bagi keadilan, kesetaraan dan pembebasan. Berteologi yang demikian merupakan suatu upaya yang baru sekaligus tradisional. Baru, karena dia harus mengembangkan sesuatu yang baru, akan tetapi tradisional karena dia merupakan kelanjutan dari yang tradisonal itu.[5]
Melepaskan gereja dari budaya Barat adalah hal yang sulit dan menjadi perhatian orang kristen di Indonesia karena seperti yang kita ketahui bahwa budaya itu sudah ada sejak awal kekristenan masuk ke Indonesia. Itu sebabnya yang menjadi pergumulan kita sekarang ialah bagaimana kita mengusahakan untuk menjadikan gereja atau menjalankan misi gereja sesuai konteks gereja yang ada di Indonesia.
Di Indonesia sendiri kesadaran untuk memperhatikan kultur pribumi sudah muncul lama. Pada pertengahan abad XIX Coolen telah meleburkan teologi Kristen ke dalam kultur Jawa. Ia bahkan menolak sakramen baptisan dan perjamuan kudus karena dianggap sebagai kultur Barat.[6] Praktek ini diperbaiki oleh Paulus Tosari. Ia mengabarkan injil menggunakan kultur Jawa (penggunaan tembang dan wayang) dan bertolak dari pemikiran Jawa (Rasa Sedjati), tetapi ia tetap mempraktekkan sakramen.[7] Kyai Sadrach Surapranata juga mengembangkan ajaran Kristen dari pengharapan orang Jawa tentang kedatangan Ratu Adil dan Dewi Sri.[8] Pemikiran yang paling terarah tentang kontekstualisasi tologi mungkin dipelopori oleh B. M. Scuurman di sekolah Bale Wijata di Malang tahun 1927. Ia bahkan sudah mengusulkan persyaratan berteologi di Jawa.[9] Benih pemikiran yang telah lahir ini pada kenyataannya kurang diikuti oleh usaha yang sistematis dan mendalam untuk membangun teologi Indonesiawi.
Refleksi teologi Indonesia secara umum sampai tahun 1940 masih berorientasi pada pola Barat. Periode 1940-1945 ditandai dengan menjamurnya kemandirian gereja. Kemandirian ini disebabkan faktor politis yang terjadi. Para penginjil luar negeri sudah tidak bebas lagi memberikan pendidikan teologi, sehingga beberapa sekolah teologi terpaksa ditutup. Meskipun di beberapa tempat posisi pengajar di sekolah teologi lokal diambil alih oleh orang pribumi, tetapi tidak ada refleksi teologi baru yang bersifat Indonesiawi.[10]
Perubahan signifikan terjadi setelah kemerdekaan. Pembukaan kembali beberapa sekolah teologi diiringi dengan pencarian hakiki tentang dasar dan tujuan sekolah teologi. Dalam konteks pencarian ini, S. Marantika mengusulkan agar teologi selaku upaya ilmiah dimulai dari Indonesia. Teologi harus bertumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini.[11] Pokok yang ingin dicapai pada periode ini hanya sebatas mengupayakan agar problematika teologis dari Barat tidak memainkan peran utama.[12]
Isi
Sebelum masuk dalam topik utamanya saya akan menguraikan sedikit tentang GMIT. Gereja Protestan Evangelis di Timor adalah Sinode Protestan terbesar kedua di Indonesia, berjumlah sekitar 1,4 juta anggota dan 1.937 jemaat. Gereja Masehi Injili di Timor pada 31 Oktober 1947. Walaupun namanya Gereja Masehi Injili di Timor, tetapi anggota dan jemaat tidak terbatas ke Timor Barat, namun dapat ditemukan tersebar di seluruh provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan pengecualian dari pulau Sumba. Dasar pelayanan GMIT adalah Presbyrterial-Synodal yaitu tata gereja dengan tim kepemimpinan dewan sinode dipilih setiap 4 tahun oleh majelis umum gereja. Tim ini admistrative terdiri dari 5 anggota purna-waktu yang dipimpin oleh moderator dan mengawasi pelaksanaan rencana strategis empat tahun melalui berbagai komisi gereja. GMIT dapat digambarkan dalam teologi Reformed dengan penekanan khusus pada otoritas Alkitab dan keinginan untuk menjadi kontekstual dan holistik dalam misinya.
Prinsip-prinsip dasar untuk GMIT dari Departemen Program dalam Periode 2007-2011 :
a) Cinta Allah tidak berubah, tetapi Allah renews cara Dia menunjukkan bahwa cinta kepada dunia dan kemanusiaan.
b) Dunia adalah objek kasih Allah walaupun dunia yang menolak kasih dan terus memberontak terhadap Allah.
c) GMIT sebagai persekutuan orang-orang yang ditempatkan oleh Tuhan di tengah dunia ini (khususnya di Provinsi NTT dan Sumbawa), untuk membuat Allah dikenal perdamaian di dunia.
Inti Departemen Nilai (2007-2011)
ü Itu Jemaat (GMIT) tidak ada untuk dirinya sendiri, tetapi untuk melayani dunia berdasarkan kasih Tuhan unchanging sebagai terungkap dalam Yesus Kristus, adalah sumber dan refernce terhadap pelayanan kami.
ü Para anggota GMIT, sebagai keluarga dilengkapi oleh Allah dengan berbagai hadiah untuk membangun dunia dan masyarakat dalam hal pembuatan dikenal Allah damai.
ü Anggota GMIT dipanggil oleh Allah dan bintara oleh Kristus, untuk melayani dengan ketaatan dan disiplin dalam konteks sosial yang dinamis, spiritual, budaya, politik, ekonomi dan lingkungan geofisik.
Yang Affirmations Iman (2007-2011)
Satu Allah dalam Trinitas Kudus:
Allah Bapa, Tuhan di atas kita,
Anak Allah, Tuhan di antara kita,
Allah Roh Kudus; Tuhan dalam diri kita.
Alkitab adalah Firman Tuhan dalam kata-kata orang. Ianya tidak dibagi: Kedua Lama dan Perjanjian Baru untuk menyaksikan karya Allah sebagai Pencipta, Penyelamat dan pengantar. Alkitab harus dibaca secara kritis meminta bantuan Tuhan, bahwa kebenaran mungkin menggema di seluruh bumi.
Gereja adalah Rumah Allah yang pintu tetap terbuka untuk tetangga, dunia yang lebih luas, dan furture. Orang-orang milik gereja adalah saudara-saudara bersatu bukan marga maupun ras, atau bahasa, maupun sejarah, dan ideologi, tetapi oleh Yesus Kristus sebagai pusat tiang di rumah Allah. Karena itu tidak ada tempat di dalam gereja untuk segala bentuk penindasan dan diskriminasi. Dunia, dengan budaya dan agama, adalah bidang pekerjaan Tuhan. Gereja ada bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Allah dan untuk dunia.
Ibadah adalah tanda yang terlihat dari panggilan gereja. Menyembah yang terjadi setiap hari di setiap tempat.[13]
Seperti yang kita ketahui bahwa gereja Indonesia mengalami Krisis Identitas karena kia masih terpaku atau fokus pada apa yang ada sejak awal, atau dengan kata lain Gereja kita hanya meneruskan saja tradisi kolonial yang sudah ada dan kita kenal sejak kekristenan masuk ke negeri kita. Saat ini kita barulah kita menyadari akan hal itu dan mengusahakannya.
Dalam tulisan John Campbell-Nelson “SUMBER-SUMBER IDENTITAS GEREJA: BAHAN BAKU BAGI EKLESIOLOGI YANG KONTEKSTUAL bagian KONTEKS DAN TRADISI” dituliskan bahwa permasalahan eklesiologi, ide kontekstualisasi menunjukkan adanya perubahan besar dalam perspektif terhadap gereja. Ide ini menekankan bahwa konteks lokal dari gereja (tertentu) harus ditempatkan bersisian dengan tradisi yang sedang diperbaharui (termasuk tradisi Reformasi) sebagai faktor yang sama derajatnya dalam menentukan ciri-ciri gereja. Konsep kontekstualisasi eklesiologi ini tidak menolak otoritas tradisi Kristen-yang-alkitabiah bagi iman dan praktek gereja; konsep ini berusaha menempatkan kehidupan dan pengalaman gereja Indonesia masa kini di dalam dialog dengan tradisi otoritas ini, dan dalam dialog inilah terdapat sumber prinsipal bagi pemahaman eklesial/teologis.[14]
Berbicara mengenai krisis Identitas di gereja maka Jalan keluar dari krisis ini bukan sekedar memasukkan kembali pernyataan-pernyataan normatif dari gereja yang telah dirumuskan pada masa lalu. Memang, rumusan normatif itu setidak-setidaknya dapat menjelaskan pada kita perihal bagaimanakah "seharusnya" gereja, dan hal ini dalam artian eskatologis. Namun, rumusan ini tidak dapat menjelaskan pada kita perihal "siapa" gereja (kita) pada saat ini. Untuk menemukan "siapa diri kita" atau identitas kita saat ini kita perlu menyelediki sumber-sumber identitas kita. Sumber-sumber ini sifatnya lebih luas dan lebih bervariasi dibandingkan dengan sebuah pernyataan resmi dari suatu doktrin tentang Gereja. Sumber-sumber ini meliputi: sejarah lokal dan nasional, konteks budaya, kondisi sosial-ekonomis-politis yang di dalamnya gereja (masing-masing) hidup dan melaksanakan pelayanannya. Sumber-sumber ini juga meliputi: penghayatan gerejawi para anggotanya dalam simbol, ritual maupun dalam kisah/cerita-cerita.
Dalam Tulisan ini juga John Campbell-Nelson ini juga di lampirkan "Peta" atau tepatnya sebuah diagram yang disusun untuk lokakarya yang membahas mengenai identitas eklesial yang diselenggarakan oleh Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), dan oleh karenanya mencerminkan beberapa ciri khas dari konteks gereja ini. Berhubung kita sedang membicarakan eklesiologi lokal, maka mengambil sebuah contoh dari suatu gereja tertentu tak dapat kita hindarkan.
Sumber-sumber Identitas GMIT (sebuah sketsa) :
Tradisi Am: Berbagai Konteks | teologi-teologi, ajaran gereja | tata gereja-tata gereja (episkopal, kongrega-sional, dsb.) | Alkitab dan tradisi penafsiran | Sejarah Gereja Umum | Simbol-simbol, ritus-ritus dlm tradisi liturgis | Pengalaman orang-orang percaya |
Tradisi GMIT | teologi lokal, ajaran GMIT | Tata Gereja GMIT | Alkitab dan tradisi penafsiran lokal | Sejarah GMIT | Simbol-simbol, ritus-ritus dlm tradisi liturgis GMIT | Pengalaman beriman orang-orang GMIT |
Konteks Budaya GMIT | agama suku, Panca Sila, aliran-aliran | struktur keluarga, hukum adat, pemerintah | mitos-mitos dan cerita-cerita rakyat | Sejarah Indonesia dan NTT | Simbol-simbol, ritus-ritus dlm budaya lokal | Pengalaman dalam masyarakat |
Penjelasan untuk diagram di Atas :
1. Diagram ini dapat dibaca secara vertikal maupun horisontal, tapi jangan dibaca secara hirarkial (mis. bahwa GMIT harus melaksanakan peraturan-peraturan dari Tradisi Am dan menerapkannya ke dalam konteks lokal). Dalam tiap-tiap kotak ada hubungan timbal-balik di antara kategori-kategorinya, misalnya saja: banyak simbol-simbol gereja yang berasal-usul dari Alkitab dan mengungkapkan konsep-konsep dogmatik; kebijakan-keb jakan dan peraturan gereja seringkali paling baik bila dipahami secara historis (dalam lintasan sejarahnya).
2. Kategori-kategori di dalam setiap kotak bukan meru pakan sesuatu yang tetap dan lengkap; kategori-kategori ini dipilih karena tampaknya dapat sangat membantu kita dalam menganalisis konteks khas GMIT, dan juga katego ri-kategori ini mudah dipahami dan didiskusikan oleh para peserta lokakarya. Kategori-kategori ini juga mencerminkan wawasan saya terhadap permasalahan herme neutik budaya. Pembaca sekalian dapat mengganti katego ri ini dengan unit-unit analisis lainnya jika diperlu kan.
3. Secara kasar setiap kategori dapat disejajarkan dengan kategori lain yang berada tepat di bawah atau di atasnya. Misalnya, sejarah gereja lokal (di kotak tengah) adalah sejajar dengan sejarah gereja umum (di kotak atas) dan sejajar dengan sejarah Indonesia dan NTT (di kotak bawah). Terkecuali Alkitab yang merupakan hal yang sentral baik bagi GMIT maupun Tradisi Am, namun yang tidak mempunyai kesejajaran di dalam konteks lokal kecuali dengan beberapa mitos penciptaan/asal- usul (sesuatu) dan tradisi-tradisi lisan lainnya dari agama-agama suku. Namun sampai sejauh ini pengetahuan kita masih kurang untuk menempatkan tradisi-tradisi ini secara tepat di dalam diagram.
4. Perlu diingat bahwa "Tradisi Am" pada dirinya juga berisi jejak-jejak dari sejumlah konteks lokal. Seandainya halaman ini tiga dimensi, kita dapat menam bahkan kotak ke-empat untuk mengungkapkan aspek ini. Bagi GMIT, dan juga bagi banyak gereja-gereja Protestan di Indonesia, "Tradisi Am" telah disaring melalui pengalaman pendeta-pendeta Belanda. Konteks budaya/his toris lokal dari pendeta-pendeta Belanda ini sangat mempengaruhi aspek-aspek Kekristenan yang akan disalur kan atau dialihkan ke Indonesia. Jelaslah bahwa hanya aspek-aspek "Tradisi Am" yang diberikan kepada gereja lokal, misalnya melalui: pendidikan, buku-buku, perja lanan, atau pertukaran tenaga asing, yang dapat mem pengaruhi identitas gereja lokal.
5. Akan sangat baik bila hubungan diantara ketiga kotak itu dibaca dari atas serta dari bawah ke arah tengah; dengan kata lain, kita akan dapat memperhatikan pengaruh kuat yang diberikan oleh Tradisi Am dan oleh konteks lokal kepada tradisi GMIT. Hal ini perlu karena di sini kita ingin memfokuskan perhatian kita pada identitas GMIT. Sebaliknya, seandainya kita ingin lebih memperhatikan sumbangan-sumbangan GMIT (atau gereja lokal lainnya) kepada Tradisi Am, kita perlu membacanya dari tengah ke atas. Sedangkan, jika kita ingin lebih memperhatikan pengaruh GMIT pada lingkungannya, kita perlu membacanya dari tengah ke bawah.
6. Sekalipun kategori-kategori di sini sangat umum, tujuan diagram ini bukanlah generalisasi, bahkan justru sebaliknya. Diagram ini dimaksudkan sebagai suatu "peta" sehingga kita dapat tiba pada perincian unsur- unsur identitas GMIT yang unik.[15]
Salah satu contoh berguna untuk menunjukkan bagaimana semua unsur ini saling berkaitan. Misalnya, upacara pemberkatan nikah di GMIT. Upacara perkawinan Kristen (Belanda) bertemu dengan tradisi perkawinan suku serta struktur-struktur kekerabatannya sehingga menghasilkan tradisi gereja lokal yang unik. Pada berbagai tahap di dalam proses upacara perkawinan itu dilaksanakan pertukaran "mas-kawin" dan buah pinang, sementara pakaian kedua mempelai adalah pakaian daerah atau pakaian khas suku bagi upacara perkawinan dan ini semua disaksikan oleh pendeta. Lalu pendeta mengenakan jubah kependetaannya (gaya-Belanda), dan kedua mempelai mengganti pakaiannya menjadi pakaian pengantin gaya Barat (termasuk: gaun pengantin warna putih) untuk mulai menjalani upacara perkawinan gerejawi. Khotbah yang disampaikan pendeta akan diambil dari Efesus 5:21-33 (berarti: konteks budaya Yunani Timur Tengah) diikuti dengan pemotongan kue pengantin (berasal dari kebiasaan Romawi). Pada waktu pestanya, gong dan tarian tradisional akan "dicampur" dengan pita rekaman kaset Disko (dari Amerika-Afrika) atau dengan musik country dan Barat (Anglo-Amerika). Esok harinya, mereka akan mengganti pakaian lagi dengan pakaian tradisional dalam rangka penerimaan mempelai perempuan ke dalam rumah suaminya, menurut adat-istiadat suku.
Interaksi kompleks antara tradisi-tradisi budaya dan teologis ini, baik yang kuno maupun yang modern, menciri-cirikan hampir semua unsur yang membentuk identitas GMIT. Mengidentifikasikan unsur-unsur ini dan pengaruh timbal-baliknya terhadap satu sama lain adalah langkah awal di dalam analisis kontekstual. Clifford Geertz, seorang antropolog ternama, menamakan proses ini sebagai "deksripsi tebal" ("thick description"), [16] yaitu suatu proses penyortiran terhadap berbagai lapisan-lapisan yang telah membentuk suatu realitas sosial (tertentu). Oleh karenanya, deskripsi tebal ini belum dapat dinamakan teologi. Fungsinya adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan- kemungkinan makna yang dengannya suatu situasi dapat diinterpretasikan. Namun demikian, proses ini dapat memungkinkan timbulnya dialog teologis yang otentik dengan konteks lokal. Saya akan memberi sebuah contoh bagaimana dialog ini dapat dilaksanakan. Hasil-hasil dari lokakarya GMIT akan saya gunakan dalam hal ini.
Seperti yang saya ketahui bahwa dalam GMIT ada suatu istilah adat Yaitu NATONI. NATONI ini seperti pantun yang biasanya di pakai dalam ibadah untuk Acara Pernikahan, Acara-acara Gereja seperti Sidang Sinode, dan juga pada acara Pemakaman, Natoni dibawakan oleh orang-orang tertentu yang ahli dan yang sudah berpengalaman mengingat bahasa yang di pakai dalam Natoni adalah bahasa Adat. Natoni ditempatkan di tengah-tengah ibadah atau pada awal ibadah. Dengan cara Natoni inilah Orang Timor menyampaikan isi hatinya yang paling dalam secara halus untuk menyambut atau melepaskan kepergian para Tamu. Dari sisi lain orang beranggapan bahwa hal ini terlalu menjurus ke agama suku tetapi sebenarnya yang saya lihat disini jika di kaitkan dengan konteks gereja indonesia maka hal ini bisa di katakan sebagai tanda dimana mereka ingin membangun persekutuan yang baik dengan sesamanya di dalam Tuhan. Tidak ada maksud dan tujuan untuk membuat kebudayaan mendominasi Gereja tetapi bagaimana Kebudayaan mendukung gereja untuk mengusahakan gereja yang kontekstual.
Kesimpulan
Gereja Indonesia, yaitu Gereja yang ditempatkan Tuhan untuk menghadirkan Tanda-Tanda Kerajaan Tuhan di bumi Indonesia dan bermanfaat bagi manusia Indonesia karena itu gereja harus memiliki jati diri dan atau identitas diri sendiri bukan bergantung pada tradisi bangsa lain. Apabila hal ini terjadi, itu bukanlah suatu upaya untuk mengKristenkan Indonesia, akan tetapi semata-mata mendorong manusia Indonesia menjadi orang Indonesia yang memiliki jati dirinya sendiri dalam berhubungan dengan Tuhan dengan caranya sendiri, tanpa harus tergantung pada budaya dan identitas bangsa lain, termasuk budaya tempat lahirnya agama-agama dunia itu.
Kontektualisasi budaya adalah bagian yang tidak terlepas dari agama karena budaya atau tradisi kitalah yang menunjukan identitas gereja kita. Gereja mencari identitasnya tanpa menghilangkan Tradisi yang Am, melainkan berdasarkan tradisi itu maka gereja di dorong untuk mengusahakan suatu kontekstualisasi.
Sesudah membahas beberapa aspek identitas GMIT kita tak dapat begitu saja merumuskan kembali aspek-aspek ini sebagai doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran gereja. Merumuskan aspek-aspek ini sebagai dogma gereja secara gegabah dapat melimpahkan otoritas pada konteks lokal yang justru asing bagi Perjanjian Baru. Cara ini sungguh-sungguh sangat berbahaya. Pengalaman Gereja Jerman ketika zaman Nazi membuktikan bahwa mudah sekali teologi berubah menjadi ideologi. Tapi di sisi lain, kita tak dapat begitu saja memulai kritik terhadap identitas GMIT dengan mendasarkan pada...apa? Alkitab, tentu saja, tapi penafsiran siapa yang akan kita gunakan? Tradisi Am, tentu saja, tapi Tradisi Am terdiri dari berbagai tradisi-tradisi lokal; jadi, tradisi lokal yang mana yang diberi hak untuk berbicara atas nama tradisi-tradisi lokal lainnya? Semakin kita sadar atas kehadiran pengaruh suatu konteks terhadap pandangan teologis, semakin sulit bagi kita dalam mengidentifikasi norma-norma yang mempunyai otoritas trans-kontekstual yang dengannya kita akan mengukur kesetiaan teologi-teologi lokal tertentu. Singkatnya, bukankah kontekstualisasi akhirnya akan membawa kita ke relativisme? Kita mungkin terpaksa menerima relativisme, seandainya satu-satunya alternatif yang ada ialah mempunyai teologi "buatan surga" (made in heaven) yang dengannya semua teologi di dunia ini dapat diukur ---setidak- tidaknya, inilah prinsip yang diajukan oleh kaum Fundamentalis. John Campbell-Nelson mengemukakan alternatif lain. Untuk mengidentifikasi norma-norma itu, pertama- tama kita sendiri perlu bertanya: apa yang sebenarnya kita artikan dengan istilah "norma-norma" dalam kait annya dengan teologi-teologi lokal atau kontekstual? Jika kita menolak model otoriter yang diikuti oleh kaum Fundamentalis yang dengannya mereka mempunyai norma- norma gereja yang (tampaknya) valid, obyektif, tegas, dan "dapat berlaku di semua tempat dan kondisi", apakah yang masih dapat kita gunakan?
Ide tentang "Identitas" telah kita gunakan untuk menjelaskan pemahaman-diri gereja dalam hubungannya dengan konteksnya. Ide ini perlu kita gunakan di sini sebagai kunci jawaban. Arti dari istilah "normatif" yang cocok dengan "identitas" ialah "integritas". Seseorang mempunyai integritas apabila perilakunya bersesuaian dengan prinsip-prinsip yang diyakininya dan apabila berbagai aspek dari kepribadiannya telah terjalin dalam satu kesatuan (kita juga menyebutnya sebagai "karakter"). Jika konsep ini kita analogikan ke gereja, kita dapat mengatakan bahwa gereja mempunyai integritas apabila (1) gereja mempraktekkan apa yang dikhotbahkannya, dan apabila (2) hal-hal yang dikhotbahkannya dipersatukan dalam jalinan makna yang konsisten. Sekali lagi saya ingin menggunakan GMIT sebagai contoh. GMIT mengetahui bahwa dirinya adalah gereja pedesaan dimana 90% anggota jemaatnya adalah para petani. Berdasarkan standar praxis, apakah pelayanan GMIT sungguh-sungguh memperhatikan kebutuhan- kebutuhan para petani? Berdasarkan standar konsistensi makna, apakah dalam pandangan teologis GMIT sudah termasuk sebuah "teologi pertanian"? Dengan mempertimbangkan standar-standar ini kiranya jelas bahwa kita tak perlu mengabaikan pokok-pokok normatif; kita hanya ingin menegaskan bahwa norma-norma ini harus cocok dengan konteks lokal dan bahwa norma- norma ini harus lahir dari pemahaman-diri gereja lokal itu sendiri. Kontekstualisasi teologi benar-benar mengandaikan kontekstualisasi norma-norma yang dengannya gereja mengukur dirinya sendiri.[17] Kita belum terlepas dari permasalahan relativisme. "Kontekstualisasi norma-norma" adalah cara positif dalam merumuskan permasalahannya, tapi permasalahannya tetap tak beranjak. Dua hal yang ingin saya katakan sebagai penutup uraian ini. Pertama, semua norma-norma teologis pada dirinya bersifat "pengakuan". Jika teologi adalah "iman yang mencari pemahaman", kita tak dapat mengabaikan "iman" pada saat kita sudah berhasil menemukan "pemahaman". Bahkan pada saat kita dapat menunjuk kepada "Yang Mutlak", kita selalu menunjuk-Nya dari posisi kita "yang relatif". Ini berarti bahwa suatu pengakuan tak dapat dipisahkan dari si pengaku, bahkan sekalipun pengakuan itu sudah dihias dalam bahasa teologis yang serba pasti. Sekali lagi, "Aku" tidak dapat dicabut dari "peng-aku-an"-ku. Ini bukanlah persoalan baru bagi pokok kontektualisasi atau teologi operatif. Ini merupakan sifat dasar dari iman itu sendiri.
Teologi kita merupakan "pengakuan", kita setidak- tidaknya dapat mendengarkan pengakuan-pengakuan kita satu sama lain. Berhubung Tradisi Am terdiri dari berbagai tradisi-tradisi lokal, Tradisi Am hanya akan menjadi relevan bagi kita apabila kita terlibat dalam dialog dengan tradisi-tradisi lain ini. Bilamana di masa lalu dialog tidak dimungkinkan karena para pesertanya tidak dipandang sederajat, tantangan yang ada sekarang ini tentunya tantangan yang berbeda. Dialog yang sejati hanya dimungkinkan apabila para pesertanya mengenal dan menghargai identitasnya sendiri. Hal ini tak mungkin terjadi apabila kita masih menganggap bahwa tradisi yang sudah kita terima (misalnya, Calvinisme Belanda) adalah tradisi yang bebas-konteks dan normatif (bagi semua tradisi lainnya). Namun sehubungan dengan kesadaran kita tentang pentingnya suatu konteks, tradisi-tradisi ini perlu dipelajari secara baru sebagai teologi-teologi kontekstual pada konteksnya masing-masing.
Orang-orang Kristen Indonesia akan mendapatkan kegunaan yang besar pada saat mereka mempelajari bagaimana budaya Belanda telah membentuk dan menyaring tradisi-tradisi teologis dan eklesial yang diwariskan kepada gereja-gereja Indonesia. Tanpa kesadaran yang seimbang akan pentingnya suatu konteks, kita bagaikan "melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar"; dengan kesadaran akan pentingnya konteks kita dapat melihat satu sama lain "muka dengan muka" (I Kor 13:12). Melalui dialog sejati kita memperluas dan memperkaya Tradisi Am, bahkan kita juga akan lebih mengenal siapa diri kita dan dimana kita berada.
[1] Dikutip dari situs E-Misi”megabarkan Injil ke seluruh Indonesia” Submitted by novi on Sen, 19/01/2009 - 02:47, di Ambil dari Judul diktat : Perubahan Budaya dan Kontektualisasi; Penyusun : Imanuel Sukardi, M.Th; Halaman: 17 – 20.
[2] Dikutip dari situs E-Misi”megabarkan Injil ke seluruh Indonesia” Submitted by novi on Sen, 19/01/2009 - 02:47, di Ambil dari Judul diktat : Perubahan Budaya dan Kontektualisasi; Penyusun : Imanuel Sukardi, M.Th; Halaman: 17 – 20. (7 April 11, 2010 ; 5:25 PM)
[3] Dikutip dari sebuah Artikel yang berjudul “Kontekstualisasi Sebagai Sebuah Strategi dalam Menjalankan Misi: Sebuah Alasan Literatur” Submitted by Pdt. Rahmiati on Fri, 27/06/2008 - 06:28.( 1.TEF pertama kali dimunculkan pada Ghana Assembly of the International Missionary Council. Sidang ini membahas isu yang berkaitan dengan pendidikan teologi (Ministry in Context: The Third Mandate Programme of the Theological EducationFund(1970-1977)[Written and edited by Theological Education Fund Staff; Bromley, England: Theological Education Fund, 1972]). 2. "Kontekstualisasi berkaitan dengan bagaimana kita mengenal kekhususan dari konteks Dunia Ketiga." (ibid. 20) 3. Lih. pandangan dari Willow Bank Report, Gospel and Culture (Wheaton: Lausanne Committee for World Evangelization, 1978); C. Kraft, Christianity in Culture (New York: Orbis, 1979); D. P. Niles, "Example of Contextualization in the Old Testament," The South East Asia Journal of Theology 21/2 (1981) 19-33; A. Glasser, "Old Testament Contextualization: Revelation and Its Environment" dalam The Word Among Us (ed. D. S. Gilliland; Dallas: Word, 1989) 32-51; D. Hesselgrave dan E. Rommen, Contextualization (Grand Rapids: Baker, 1989). Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan) www.google .com (7 April 11, 2010; 5:28 PM)
[4] Dikutip dari situs Kinky Theologi, diambil dari tulisan “Prof. DR. JOHN TITALEY DEKONSTRUKSI DAN REKONSTRUKSI TEOLOGI MENUJU TEOLOGI INDONESIA YANG KONTEKSTUAL” yang di posting pada Selasa, 11 November 2008. (7 April 11, 2010; 5:28 PM)
[5] Dikutip dari situs Kinky Theologi, diambil dari tulisan “Prof. DR. JOHN TITALEY DEKONSTRUKSI DAN REKONSTRUKSI TEOLOGI MENUJU TEOLOGI INDONESIA YANG KONTEKSTUAL” yang di posting pada Selasa, 11 November 2008(kutipan dadri tulisan Stephen B. Bevans Stephen B. Bevans. Models of Conntextual Theology: Faith and Cultures (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1996), 1-10. ). (7 April 11, 2010; 5:28 PM)
[6] Th. van den End, Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas (cet. ke-3; Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 271.
[7] Untuk detail lihat A.G. Hoekema, Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 46-56.
[13] Diambil dari www.sinodegmit.org “sumber daya GMIT” (7 April 12, 2010; 5:51 PM)
[14] Dikutip tulisan John Campbell-Nelson “SUMBER-SUMBER IDENTITAS GEREJA: BAHAN BAKU BAGI EKLESIOLOGI YANG KONTEKSTUAL bagian KONTEKS DAN TRADISI” sumber : www.oaseonline.org (7 April 2010; 5:45)
[15] Dikutip tulisan John Campbell-Nelson “SUMBER-SUMBER IDENTITAS GEREJA: BAHAN BAKU BAGI EKLESIOLOGI YANG KONTEKSTUAL mengenai SUMBER-SUMBER IDENTITAS EKLESIAL” sumber : www.oaseonline.org (7 April 2010; 5:45)
[16] Dalam tulisan John Campbell-Nelson juga di kutip tulisan Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), p.6. Geertz mengadaptasi konsep ini dari filsuf Gilbert Ryle.
[17] Dikutip oleh John Campbell-Nelson dari tulisan Robert Schreiter tentang "Kriteria bagi Identitas Kristen" sejajar dengan permasalahan kita di sini. Lih. bukunya: Constructing Local Theologies (London: SCM, 1985), p. 117-121.
baik ..
BalasHapus